Menurut laporan World Ec onomic Forum (2023), 80% organisasi global menyatakan bahwa keberlanjutan adalah prioritas utama dalam strategi kepemimpinan mereka. Namun, hanya sekitar 45% yang berhasil mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam praktik sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan berkelanjutan bukan hanya soal visi, tetapi juga soal bagaimana seorang pemimpin mampu membangun fondasi yang kokoh untuk menghadapi tantangan jangka panjang.
Dalam era yang terus bergerak cepat, tantangan bagi seorang pemimpin tidak hanya terletak pada pencapaian tujuan sesaat, tetapi juga pada memastikan bahwa jejak yang ditinggalkan mampu menginspirasi dan bertahan dalam waktu yang lama. Sustainable leadership, atau kepemimpinan berkelanjutan, menuntut lebih dari sekadar keterampilan teknis. Ia membutuhkan kedalaman refleksi dan pengayaan diri yang terus-menerus.
Sebagai seorang yang menaruh perhatian besar pada pengabdian masyarakat dan pemberdayaan, saya menyadari bahwa perjalanan menuju kepemimpinan berkelanjutan adalah perjalanan mengenal diri. Kematangan diri (self-maturity) bukanlah sesuatu yang datang begitu saja; ia adalah hasil dari pengalaman hidup, keberanian menghadapi kegagalan, serta kerendahan hati untuk terus belajar. Dalam berbagai kesempatan, saya belajar bahwa menjadi matang secara emosional dan intelektual membantu saya memahami orang lain lebih baik, membangun hubungan yang autentik, dan mengambil keputusan yang tidak hanya rasional tetapi juga berlandaskan etika.
Namun, kematangan diri saja tidak cukup. Dunia yang kompleks ini menuntut pemimpin untuk terus memperkaya kompetensi. Pengayaan kompetensi (competency enrichment) adalah upaya untuk selalu relevan di tengah perubahan. Dalam hal ini, setiap pengalaman, baik itu memimpin proyek sosial, berkomunikasi dengan berbagai lapisan masyarakat, atau menjalankan program berbasis literasi politik, menjadi ladang pembelajaran. Dari semua itu, saya belajar bahwa kompetensi terbaik seorang pemimpin bukan hanya pada keahliannya, tetapi pada kemampuannya mendengar, memahami, dan merangkul perbedaan.
Program “Pemilih Berjaya”, yang fokus pada peningkatan literasi politik dan pengurangan apolitisme, menjadi salah satu wujud konkret bagaimana saya berusaha menjalankan prinsip kepemimpinan berkelanjutan. Bertolt Brecht pernah berkata bahwa “buta yang terburuk adalah buta politik.” Kalimat itu mengingatkan saya akan pentingnya mengedukasi masyarakat, tidak hanya dengan data dan fakta, tetapi juga dengan cara yang relevan dan membumi. Dalam prosesnya, saya terus menyadari bahwa kepemimpinan adalah soal bagaimana kita memfasilitasi orang lain untuk berkembang, bukan soal menunjukkan apa yang telah kita capai.
Kepemimpinan berkelanjutan juga berarti menanamkan visi besar melalui langkah-langkah kecil yang bermakna. Sebuah perubahan tidak selalu terjadi secara instan, tetapi dengan konsistensi dan dedikasi, dampaknya akan terasa. Hal ini mengajarkan saya untuk tetap rendah hati dalam menghadapi tantangan dan untuk terus fokus pada tujuan yang lebih besar daripada diri sendiri.
Dengan demikian, sustainable leadership adalah tentang keberanian untuk terus belajar dan bertumbuh, sekaligus kesadaran bahwa kepemimpinan yang sesungguhnya terletak pada kemampuan kita untuk menciptakan dampak positif yang melampaui diri kita sendiri. Sebagai seorang pemimpin, saya percaya bahwa perjalanan ini bukanlah soal menjadi sempurna, tetapi soal menjadi cukup bijaksana untuk terus melangkah maju, membawa perubahan, dan menjaga keberlanjutan dari apa yang dimulai.