Sustainable Leadership: Menyalakan Obor Perubahan yang Abadi

Ditengah tantangan yang sedang kita hadapi secara global, mulai dari kemiskinan, ketimpangan pendidikan, kesehatan, kerusakan lingkungan, dan lainnya. Menjadi panggilan bagi seluruh agen perubahan,  untuk kembali menghidupkan api semangat yang mati, yang hadir bagaikan sebuah obor ditengah gelap.

Seorang Sustainable leader haruslah mempunyai kematangan diri guna menjaga api semangat keberlanjutan tersebut. Kematangan diri bukan hanya bicara mengenai kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri, namun juga bicara tentang integritas dan keberanian untuk memulai sebuah perubahan besar yang berdampak untuk kehidupan selanjutnya. Seorang Sustainable leader haruslah mempunyai pikiran yang besar dan maju, bukan hanya untuk keuntungan dan popularitas dirinya, tetapi untuk kemaslahatan secara keseluruhan. Kematangan diri itu bisa tercermin dari bagaimana seorang pemimpin mengorbankan waktu dan tenaganya terhadap keresahan yang dirasakan. “disaat orang tertidur engkau terbangun, disaat orang lain merampas engkau berbagi” mungkin itu yang dapat digambarkan sebagai bentuk kematangan diri seorang pemimpin.

Kematangan diri seorang Sustainable leader juga menjadi akar kokoh disaat angin menerpa di ketinggian. Seorang pemimpin yang matang akan mementingkan semangat kebermanfaatan dibandingkan ketenaran. Penolakan, cacian, ujian, dan lainnya tidak akan menggoyahkan semangat keberlanjutan seorang Sustainable leader karena ia sudah membangun fondasi yang kuat dalam dirinya.

Seorang Sustainable leader haruslah memiliki visi yang sejalan dengan maqashid syariah – tujuan-tujuan syariat Islam yang mencakup perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kematangan diri itu tercermin dari bagaimana seorang pemimpin mengorbankan waktu dan tenaganya, mencontoh sifat Baginda Rasulullah SAW yang selalu mengutamakan kepentingan umatnya di atas kepentingan pribadi.

Kematangan diri seorang pemimpin dalam persfektif islam dibangun melalui lima pilar.

Yang pertama, Tauhid menjadi landasan utama sebagai akar yang menguatkan bahwa kepemimpinan adalah amanah dan bentuk ibadah yang tentunya akan diganjar serta diminta pertanggungjawaban disisi Allah.

Yang kedua adalah Akhlak yang dalam hal ini seorang pemimpin harus menjadikan Rasulullah SAW sebagai role model yang memiliki sifat: Sidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Sifat sifat ini nantinya yang menjadi alasan mengapa seorang pemimpin harus memberdayakan sesama.

Ketiga Ihsan yang menghadirkan kesadaran akan pengawasan Allah yang membentuk ketahanan mental dan emosional. Pemahaman ini melahirkan konsistensi dalam berbuat baik, baik ketika dilihat maupun tidak.

Yang keempat, yaitu Thalabul ‘Ilmi, dimana mewujudkan komitmen pembelajaran seumur hidup, menggabungkan ilmu dunia dan akhirat untuk mencapai keseimbangan dalam kepemimpinan.

Terakhir, konsep Rahmatan lil ‘alamin yang akan mengarahkan setiap kebijakan untuk membawa keberkahan bukan hanya di lingkungan sekitar tetapi juga secara universal, tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi alam semesta.

Dengan mempunyai kematangan diri yang dibangun melalui kelima pilar tersebut, seorang Sustainable Leaders bisa menjadi obor penerang yang hidup secara abadi. Akan melahirkan sosok-sosok baru seperti dirinya dan menyebarkan arti dari kepemimpinan yang sesungguhnya, yang tentunya dalam ridho Allah SWT dan dalam tuntunan Rasulullah SAW.