Sikap Atas Nikmat: Sebuah Kontemplasi

Oleh: Aditya Nurullahi Purnama (PM BA 8 Semarang)

Dikisahkan, Firaun adalah penguasa Mesir yang memiliki kekuasaan sebentang negara Mesir saat ini. Sebagai penguasa negeri yang besar, Firaun dikenal sebagai Raja yang gila kekuasaan. Bahkan, setiap bayi laki-laki yang lahir di tengah Bani Israil, dengan tangan para pembantunya, ia sembelih. Firaun melakukan itu sebagai langkah untuk mengantisipasi kehadiran laki-laki atau ancaman yang bisa merebut kekuasaannya. Hal itulah yang membuat Musa dihanyutkan di sungai Nil dalam rangka menyelamatkannya dari ancaman pembunuhan. Perangai buruk Firaun disempurnakan dengan sikap sombong yang ia miliki. Ia bahkan mengimani dirinya sebagai Tuhan dan begitu gusar ketika datang seorang Musa untuk mengajak Firaun beriman pada Tuhannya Bani Israil (Allah). Selain mengingkari kebenaran yang dibawa oleh Musa, Firaun juga bertindak angkuh dengan memerintahkan Haman untuk membangun piramida. Piramida tersebut nantinya akan digunakan oleh Firaun sebagai tangga untuk melihat Tuhannya Nabi Musa.

Pertarungan antara yang haq dan batil adalah sebuah fakta sejarah. Namun pada akhir cerita, kebatilan akan selalu menyerah kepada yang haq meskipun perjalanan menuju destinasi tersebut dibutuhkan daya tahan yang tinggi dan kesabaran yang luas.

Firaun dihinakam melalui kuasa Allah dengan ditenggelamkannya ia berikut seluruh serdadunya di Laut Merah saat mengejar rombongan Musa dan Bani Israil. Sebagaimana dicatat dalam Alquran, menjelang akhir hayatnya Firaun akhirnya mengimani Tuhannya Bani Israil dan Musa (Allah) sebelum akhirnya disapu oleh air laut yang menjemput ajalnya. Sebuah keimanan yang sia-sia karena tertolak.

Kisah Firaun tersebut memberikan sebuah hikmah mendalam jika direnungi lebih jauh. Fakta sejarah pertama adalah Firaun mengimani bahwa dirinya adalah Tuhan sedangkan fakta sejarah kedua adalah Firaun, pada akhirnya, mengimani Tuhannya Bani Israil dan Musa. Manusianya sama, sumber dari ucapan tersebut berasal dari lisan yang sama.

Syahdan, apa yang membedakannya?

Kenapa Firaun tidak terselamatkan, bahkan mendapat kedudukan hina pada akhirnya meskipun ia beriman pada Allah?

Adalah sikap yang sebenarnya membuat Firaun tidak terselamatkan pada akhirnya. Ada standar ganda, atau lebih tepatnya dualisme Firaun dalam memaknai nikmat Tuhan yang ia terima. Fakta sejarah pertama, ketika Firaun mengimani dirinya sebagai Tuhan, terjadi ketika ia melihat apa yang dimilikinya sebagai sesuatu yang berguna baginya. Kemudian fakta kedua, ketika ia akhirnya beriman kepada Allah, terjadi lantaran ia melihat apa yang dimilikinya tidak lagi berguna baginya.

Fakta sejarah tersebut bisa menjadi sebuah peringatan keras, atau lebih tepatnya sebuah tamparan di wajah di kita. Kadang terbersit keangkuhan untuk beberapa hal yang kita miliki ketika orang lain belum berkesempatan memilikinya. Sialnya, sikap angkuh ini, jika tidak dicegah, akhirnya akan menutup fakta bahwa apa yang kita miliki adalah ujian. Apa yang kita miliki adalah titipan.

Kecerdasan, kesempatan, popularitas, harta, pekerjaan, dan sederet hal yang membuat merasa diri berdaya bahkan yang membuat manusia sudi memuji kita. Kemampuan kita untuk melihat dan menyikapi nikmat tersebut sebagai sebuah ujian adalah kunci yang bisa membuat kita terhindar dari sikap angkuh yang seringkali timbul tanpa terasa.

Umar Bin Khatab dan Sulaiman adalah dua tokoh besar yang telah memberikan keteladanan betapa fasihnya mereka dalam menyikapi nikmat ketika dunia berada di genggaman mereka. Tatkala wilayah kekuasaan kaum muslimin telah mencakup jazirab Arab dan Persia, Umar sungkan untuk bergaya hidup seperti penguasa-penguasa besar di masanya. Dan pertama yang utama adalah komitmennya untuk tetap bersujud kepada Allah meskipun wilayah yang dia kuasai lebih besar ketimbang wilayah kekuasaan Firaun. Hal serupa juga ditunjukan oleh Sulaiman, meskipun ia memiliki pasukan yang terdiri dari golongan jin dan manusia serta sebuah kerajaan yang besar, hal tersebut tidak membuat Sulaiman lalai untuk memanfaatkan nikmat yang ia terima untuk menyeru pada Ratu Balqis agar mengimani Allah. Melalui nikmat yang Allah berikan kepada Umar dan Sulaiman, mereka manfaatkan untuk melakukan perniagaan dengan Allah. Keuntungan tidak hanya mereka peroleh di dunia tetapi juga garansi keuntungan mereka peroleh untuk kehidupan selanjutnya.

Syahdan, bagaimana dengan kita?

Keteladanan yang dicontohkan kedua tokoh di atas sebenarnya memiliki kesesuaian dengan konsep hidup yang pernah dicetuskan oleh Steve Jobs;

Stay Hungry, Stay Foolish.

Sebagai muslim, perlu kiranya kita belajar mengadopsi konsep tersebut dengan bertolak dari cara pandang Islam (Islamic Worldview). Kecerdasan, kesempatan, harta, dan apapun itu sebenarnya adalah ujian bagi kita. Jika kita bersedia untuk menanamkan ke dalam pikiran kita bahwa kita adalah mahkluk yang selalu “lapar”, maka habiskan apa yang miliki dengan cara yang benar agar semakin merasa tidak memiliki apapun. Misalnya, manusia yang memiliki kecerdasan intelektual akan menghabiskan apa yang dimilikinya dengan membagikan kecerdasannya untuk kebermanfaatan lingkungan di sekitarnya. Mereka akan “habiskan” kecerdasan tersebut dengan mengajar, menulis, melakukan pengabdian dan serangkain perbuatan baik. Mereka kerahkan semua itu sampai mereka merasa tidak lagi memiliki apapun atau tidak lagi mengetahui apapun sehingga tumbuh sebuah rangsangan untuk mendayalipatkan usaha untuk kembali menambah pengetahuan. Semakin mereka membagi, semakin mereka merasa tidak memiliki atau mengetahui apapun. Semakin mereka merasa tidak mengetahui apapun semakin mereka bersemangat untuk mengeksplorasi apapun. Konsep dasarnya sederhana, berbagi-berakselerasi.

Konsep hidup seperti Umar dan Sulaiman adalah tentang melakukan investasi besar melalui amal saleh. Kepemilikan mereka adalah jembatan untuk melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya dan seluas-seluasnya. Mereka memahami bahwa titipan tersebut bisa hilang atau diambil kapanpun sehingga menjadi sebuah kerugian ketika mereka tidak mampu mengelola titipan tersebut untuk mendatangkan keuntungan berlipat; keuntungan duniawi dan akhirat.

Segala amal yang dilakukan kelak akan dinilai pada penutupnya. Jika berakhir baik, sungguh beruntunglah. Namun jika berakhir buruk, sungguh merugilah. Upaya untuk menutup catatan hidup dengan amal baik hanya bisa diupayakan dengan komitmen melakukan amal baik sejak awal dan berusaha konsisten dalam perjalanannya. Menunggu melakukan amal baik pada titik akhir tidak pernah memberi jaminan untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Sebab setiap usaha memiliki harga yang yang pantas untuk dibayar.

Pada akhirnya, sikap kita dalam merespon nikmat di tengah perjalanan akan menentukan bagaimana kita menutup catatan hidup kita.