Serpihan Perjuangan Lembaga Dakwah Kampus Pertama di Indonesia
Sejarah Jama’ah Shalahuddin UGM
Oleh. Kiki Dwi Setiabudi, PM BAKTINUSA 09
Lembaga dakwah kampus (LDK) merupakan sebuah lembaga dakwah yang digerakkan oleh mahasiswa dan memiliki ruang serta corak dakwah yaitu kampus atau perguruan tinggi. Jika kita melihat sejarah, lahirnya lembaga dakwah kampus sebenarnya tidak lepas dari pengaruh Partai Masyumi setelah melemahnya politik Partai Masyumi. Hal ini disikapi dengan mengadakan pertemuan pada tahun 1967 dan menghasilkan analisis penyebab melemahnya poitik Masyumi. Diantaranya partai islam tidak cukup mendapat dukungan dari umat islam, tokoh partai islam tidak memiliki visi dan misi yang sama dalam perjuangan politik, hingga umat islam yang unggul secara kuantitas namun tidak secara kualitas. Berangkat dari kondisi itu, Masyumi bergerak untuk membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) agar dakwah lebih luas dan komprehensif, dalam perjalanannya Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) menyentuh kalangan mahasiswa atau kampus sebagai bentuk penyebaran islam yang lebih luas dan untuk memperkuat regenerasi islam (Achmad, 2014).
LDK Jama’ah Shalahuddin UGM, merupakan LDK yag awal berdiri di Indonesia yaitu pada tahun 1976. Jama’ah Shalahuddin UGM termasuk dalam organisasi mahasiswa islam internal kampus yang dibentuk atas pengaruh DDII melalui Latihan Mujahid Dakwah (LMD) tahun 1974 di Kota Bandung Jawa Barat bersama universitas lain seperti UI, ITB, dan IPB (Achmad, 2014). Dengan diadakannya LMD maka menjadi sarana lahirnya kader-kader dakwah kampus termasuk di UGM.
Dikutip dari website resmi lembaga terbentuknya LDK UKM Jama’ah Shalahuddin UGM juga dipengaruhi oleh kondisi internal kampus serta Iklim kehidupan kampus saat itu, antara tahun-tahun 1972 sampai dengan tahun 1978, sangat diwarnai oleh bau “politik kampus”. Yakni pertentangan yang tajam antara kelompok-kelompok ideologis.yang paling menonjol adalah dua kekuatan besar GMNI dan HMI. Iklim yang demikian sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan hidup keagamaan.Setiap kegiatan keagamaan selalu ditarik ke dalam arena politis tersebut. Dengan demikian maka partisipasi warga muslim di luar kelompok ideologis Islam (GMNI) baik yang berada dalam kelompok maupun “masa apung” menjadi sangat kecil.
Keadaan ini diperburuk lagi dengan miskinnya kreativitas, baik jenis maupun mutu kegiatan.Kegiatan keagamaan hanya terbatas pada peringatan-peringatan hari besar Islam, dengan jenis dan tingkat penyajian dari itu ke itu juga.Dengan penyelenggara yang itu-itu juga. Sementara itu acara-acara di luar keagamaan berlangsung meriah dan ditangani cukup baik.Keadaan itu membawa pengaruh kepada citra bahwa kelompok Islam tidak punya kemampuan dalam pelaksana kegiatan, tumpulnya kreativitas, pandai omong tapi kerja nol besar. Kenyataan ketidakmampuan mengolah, mengatur dan menampilkan acara-acara keagamaan itu saja, sudah merupakan kenyataan yang sulit dibantah. Belum lagi bila ditinjau sepak terjang beberapa personal yang aktif dalam kepanitiaan, yang memang iklimnya agak “semrawut”, yang kadang-kadang memperkuat kesan jelek tersebut.
Menurut Modul Training Kepemimpinan (TK) 1 UKM Jama’ah Shalahuddin UGM 2014 menyebutkan Sekitar tahun 1974-1975 organisasi mahasiswa kala itu yang berbentuk Dewan Mahasiswa berupaya untuk membuat dakwah kreatif. Yaitu dengan membentuk acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan bentuk Maulid Pop. Sebuah acara peringatan keagamaan yang dibungkus secara lebih kreatif dengan membungkusnya dengan budaya ilmiah kampus. Acara yang dihadirkan saat itu salah satunya dengan dialog budaya, tokoh yang dihadirkan saat itu diantaranya YB Mangunwijaya, Amri Yahya, Syu’bah Asa, Taufiq Ismail, Ir.Syahirul Alim. Acara dan agenda lembaga yang cukup besar maka diperlukan tempat yang strategis, dan dipilihlah Gelanggang Mahasiswa UGM, yang dianggap lebih menjanjikan dari pada Masjid Mardiyah UGM selatan RSUP. Dr.Sarjito Yogyakarta.
Bersumber Modul Training Kepemimpinan (TK) 1 UKM Jama’ah Shalahuddin UGM 2014 menyatakan pada bulan Ramadhan pada tahun 1976 dibentuklah kepanitian acara Ramadhan In Campus (RIC). Muncullah ide untuk menamai kepanitian itu dengan Jama’ah Shalahuddin yang diusulkan oleh Muslikh Zainal Asikin, Akhmad Fanani, Djafnan Tsan Affandi, Erlius, Samhari Baswedan, A Luqman, M.Toyibi, dan Hadi Prihatin yang kesemua itu kemudian menjadi founding fathers UKM Jama’ah Shalahuddin UGM. Nama Shalahuddin dipilih karena ia adalah pahlawan islam yang mampu menerjemahkan islam tidak hanya sebagai doktrin ibadah tapi juga mampu mentransformasikan nilai islam menjadi aspek yang luas dengan kerja keras, disiplin, dan professional. Selain itu kepemimpinan Shalahuddin yang kuat dan tangguh dianggap mampu memberikan contoh spirit atas nilai-nilai perjuangan.
Lembaga ini secara legal, diketuai pertama kali oleh Mansur Romi yang saat ini merupakan dosen Fakultas Kedokteran. Diawal pendiriannya lembaga ini banyak bersinggungan dengan banyak tokoh islam Yogyakarta, diantaranya Pak AR Fakhrudin (Ketua Muhammadiyah 1968-1990), Abdurrahman Baswedan (paman Anies Baswedan). Pada orde baru, rezim kala itu ingin membubarkan Jama’ah Shalahuddinmemalui Mentri Daod Joesoef yang memerintahkan Rektor UGM untuk membubarkan lembaga ini. Hal ini dikarenakan anggota Jama’ah Shalahuddin banyak mengikuti demostrasi menolak pemberlakukaan NKK/BKK pada tahun 1978. Sebelumya Daod Joesof juga mempertanyakan pelaksanaan ibadah shalat Tarawih dan shalat jum’at yang dilaksanakan di Gelanggang Mahasiswa UGM. Menanggapi hal itu pengurus Jama’ah Shalahuddin UGM berkoordinasi dengan Pak AR Fakhrudin untuk konsultasi syariat pelaksanaan ibadah.
Jama’ah Shalahuddin ditetapkan menjadi unit kerohanian dibawah pembantu Rektor III mulai pada tahun 1987, oleh Rektor saat itu Prof.Dr.Koesnadi Hardjasoemantri, SH. Atas keputusan itu Jama’ah Shalahuddin mendapatkan hak atas ruang secretariat di Gelanggang Mahasiswa UGM, bekas ruang rias. Pembina kala itu adalah Prof.dr.Ahmad Muhammad Djojosugiro dari Fakultas Kedokteran. Saat ini Pembina Jama’ah Shalahuddin terdiri dari empat orang dosen yang diantaranya Prof.Edy Meiyanto dari Fakultas Farmasi dan Dr. Agus Himawan Utama dari Fakultas Filsafat.
Dalam perjalanannya Jama’ah Shalahuddin tak terlepas dengan Masjid Kampus sebagai pusat kegiatan dan secretariat atau kantor. Dalam proses pendiriannya Jama’ah Shalahuddin memiliki banyak peran.Diantaranya peran koordinasi antar sektor serta membantu dalam mengembangkan jaringan pendanaan. Latar belakang pendirian Masjid Kampus diawali dengan kehausan untuk memiliki Masjid bersama, hal ini bisa dilihat dengan pendirian mushola di hampir semua fakultas. Ditambah lagi pada tahun 1980 akhir universitas di Indonesia khusunya di Jawa sudah memiliki masjid sendiri.Hingga pada akhirnya pada tahun 1988 telah dicapai titik terang untuk lokasi pendirian Masjid yaitu di sebelah tenggara Fakultas Psikologi, yang kala itu masih berupa makam cina.Pembangunan Masjid akhirnya mulai dilakukan pada tahun 1998 setelah dilakukan pemindahan makam terlebih dahulu.