Beberapa hari ini kita mendengar isu yang cukup menegangkan di dunia kampus, tentang isu pergantian rektor di beberapa PTN di Indonesia menjadi rektor asing, isu ini tentunya menjadi sangat kontroversial, berbagai kalangan akademisi saling mengeluarkan pendapat serta pandangannya, menurut pemerintah hal ini dilakukan dengan alasan untuk menaikkan ranking universitas di indonesia agar masuk deretan 200 besar universitas ranking dunia. Menristekdikti mencontoh NTU di negara Singapura yang menggunakan strategi ini dalam menaikkan kualitas perguruan tinggi di Indonesia, secara tersirat saya menangkap bahwa Indonesia hari ini seolah kekurangan banyak suplai orang cerdas yang mampu mengisi jabatan strategis dalam mengelola universitas, mungkin tulisan ini dibuat sangat responsif akan isu yang masih sangat minim penjelasan. Namun sepertinya ada beberapa hal yang perlu dicermati dari ‘tawaran solusi’ dari pemerintah dalam konteks mengelola pendidikan tinggi di Indonesia.
Yang pertama adalah mental mahasiswa indonesia, sistem sosial dan kultur budaya yang berkembang di kalangan mahasiswa harus secara cermat diperhitungkan, sudah siapkah mahasiswa di beberapa PTN yang dimaksudkan untuk mengikuti aturan ataupun standar yang ditetapkan oleh rektor asing nantinya? Bisa jadi nantinya mahasiswa hanya disuguhi berbagai rangkaian agenda formalitas yang diselenggarakan kampus, berkutat pada standar tinggi demi mengejar ranking dunia yang akhirnya hanya menciptakan rangkaian robot robot pekerja di berbagai perusahaan asing pula setelah menyelesaikan pendidikan dari kampus dan lantas melupakan konsep tri darma perguruan tinggi yang salah satu di dalamnya adalah pengabdian yang sejatinya menuntut seorang mahasiswa agar kembali mengabdi ke masayarakat dan menyelesaikan berbagai polemik yang terjadi.
Belum lagi masalah administratif lainnya yang harus secara cepat dikuasai oleh rektor asing yang tentunya memiliki regulasi dalam tiap bidangnya, Rektor asing juga dituntut mampu dalam membangun tim yang solid yang terkoordinasi satu sama lain antar semua pihak baik dari –tenaga pendidik, pegawai, dekan, guru besar– dalam berbagai target capaian dari universitas, alih alih ingin meningkatkan kualitas yang ada ternyata sang rektor malah terjebak dengan culture shock budaya Indonesia yang sangat kompleks. Perbedaan bahasa adalah perbedaan yang paling mendasar, yang mau tidak mau harus diadaptasi sesegera mungkin bagi seluruh civitas akademika.
Terakhir, apakah yang menjadi jaminan bahwa tidak adanya doktrinasi yang dilakukan oleh rektor asing dalam pembuatan kebijakan di kampus PTN yang bisa jadi akan mengarah kepada tindakan mengancam ideologi bernegara, hal ini akan sangat memungkinkan dengan intervensi yang dilakukan oleh rektor asing selaku orang yang memiliki kewenangan secara legal, bukankah konsep seperti ini sama saja artinya dengan penjajahan, diimbuhi kata intelektual di ujungnya.
Apa yang dilakukan oleh pemerintah hari ini diibaratkan seperti orang yang tengah haus, namun disuruh untuk berlari. Tawaran solusi yang dilakukan belum menyentuh akar permasalahan yang terjadi pada pendidikan tinggi di Indonesia.