Quarter Life Crisis? Lewat!

Di usia – usia peralihan setelah lulus kuliah menuju dunia kerja, beberapa di antara kita (termasuk saya) merasa kebingungan. Entah mau dibawa kemana hidup ini. Seringkali merasa terjebak pada pola keseharian. Tidak ada motivasi untuk hidup dan merasa cemas setiap saat. Jika kalian merasakan satu atau dua hal di atas, maka bisa jadi kalian sedang mengalami gejala Quarter Life Crisis.

Yup, istilah Quarter Life Crisis (QLC) memang sedang cukup nge-tren belakangan ini. QLC menandai suatu episod/ masa hidup seseorang dimana terasa lebih sulit, stressful, tidak stabil, penuh kecemasan atau kebimbangan dalam hidupnya. Karena QLC merupakan sebuah episod, maka ia harus selesai dalam jangka waktu maksimal 11 bulan. Jika seseorang belum juga keluar dari masa krisisnya lebih lama dari waktu tersebut, mungkin saja ada yang salah terhadap seseorang tersebut dan perlu penanganan tenaga profesional.  Gejala QLC dialami semua orang, entah apapun jenis masalahnya.

QLC baru diperkenalkan pada awal abad ke-20 yang berkaitan dengan perkembangan teknologi. Anak – anak muda yang tinggal di lingkungan perkotaan atau yang memiliki akses internet cenderung mengalami rasa cemas. Perasaan ini secara tidak langsung timbul akibat tingginya aktivitas mereka menggunakan sosial media setiap harinya. Ketika mereka melihat kehidupan orang lain melalui postingan sosial media, secara tidak sadar mereka mulai menjadikan apa yang mereka lihat sebagai standar dan mulai membandingkan diri. Orang – orang cenderung membandingkan diri dengan orang – orang terdekat atau orang – orang yang mereka kenal, sedangkan mereka akan menjadikan orang – orang yang tidak ada hubungannya dengan mereka sebagai role model.

Erik Erinson memiliki sebuah teori mengenai tahap perkembangan manusia, dimana setiap tahap memiliki tugas dan virtue yang ingin dicapai. Gejala QLC rentan menyerang pada tahap Teenager dan Young Adult (Indonesia memiliki rentang usia golongan remaja hingga 25 tahun). Dalam tahap Teenager, psikososial krisis yang terjadi yaitu Identity vs. Role Confusion. Setelah melalui tahap ini, diharapkan seorang manusia mampu mengenali dirinya sendiri, termasuk batasan diri dan apa yang menjadi value diri. Jika tidak, maka ia akan mengalami role confusion, atau kebingungan akan perannya dalam masyarakat. Jika usianya sudah melewati batas usia teenager dan belum bisa mencapai virtue yang seharusnya, maka beban tersebut akan dibawa saat ia menghadapi krisis  psikososial di tahap selanjutnya. Dalam tahap Young Adult, psikososial krisis yang terjadi yaitu Intimacy vs. Isolation, dengan virtue yang dituju yaitu Love. Dalam tahap ini manusia mulai memiliki hubungan lebih dengan seseorang dan menjalankan komitmen jangka panjang.

Self-Awareness menjadi kunci penting untuk seseorang bisa melewati masa QLC mereka. Dengan merenung dan melihat kembali perjalanan hidup kita di masa lampau, kita dapat menganalisa bagaimana kita menghadapi masalah. Kita tanyakan kembali ke diri kita masing – masing, value apa yang penting bagi kita. Coba kita review, value mana yang penting bagi kita namun sering kita hiraukan atau ternyata kita malah kekurangan value tersebut. Berangkat dari situ, kita bisa merangkak ke luar dari episod QLC dalam hidup kita.