Pendidikan Indonesia: Maju di Kota, Merangkak di Pelosok

Oleh Ahmad Fauzan – Mahasiswa UNDIP, Aktivis Pendidikan, & Founder EGNUSA

Ketika kita bicara pendidikan Indonesia, data sering kali terdengar indah di panggung konferensi: angka partisipasi sekolah meningkat, indeks literasi membaik, dan kurikulum terus diperbarui. Namun, di balik statistik itu, ada wajah-wajah kecil di pelosok negeri yang masih memandang sekolah sebagai kemewahan, bukan hak.

Saya baru saja kembali dari Selangor, Malaysia, dalam program International Youth Egnusa Volunteer (IYEV). Di sana, saya bertemu anak-anak Indonesia yang tumbuh tanpa akses pendidikan formal layak, hanya karena status kewarganegaraan yang tidak diakui. Ironisnya, di negeri sendiri pun saya menemukan cerita yang mirip—anak-anak di desa terpencil yang harus berjalan berkilo-kilometer demi bisa belajar, dengan fasilitas seadanya.

Ketimpangan ini seperti jurang yang semakin melebar. Di kota-kota besar, kita bicara tentang smart school, tablet gratis, dan laboratorium berteknologi tinggi. Sementara di pelosok, papan tulis reyot, buku lusuh, dan guru honorer yang digaji tak layak adalah pemandangan sehari-hari. Apakah ini yang kita sebut pemerataan?

Padahal, anggaran pendidikan Indonesia di 2025 mencapai Rp 724.3 triliun, setara 20% dari APBN. Namun, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan, korupsi sektor pendidikan menjadi salah satu yang paling sering terjadi, dengan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 200 miliar pada 2024. Uang yang seharusnya menjadi jembatan menuju masa depan justru raib di meja-meja gelap.

Kita harus jujur: masalah pendidikan bukan hanya soal minimnya dana, tetapi juga tata kelola yang bobrok. Selama anggaran tersedot oleh korupsi, birokrasi berbelit, dan proyek mercusuar yang tak menyentuh akar masalah, anak-anak di pelosok akan tetap merangkak di jalur pendidikan, sementara anak di kota sudah berlari.

Sudah saatnya kita berhenti puas dengan laporan di atas kertas dan mulai melihat realitas di lapangan. Kita perlu pemimpin yang berani turun ke jalanan berlumpur, bukan hanya duduk di kursi empuk rapat. Karena pendidikan bukan sekadar angka di APBN, melainkan napas masa depan bangsa. Jika hari ini kita diam, esok kita akan dipimpin oleh generasi yang kita biarkan tertinggal.