Tantangan yang Kamu Kudu Tahu Terkait Pemindahan Ibu Kota

Wacana proyek raksasa pemindahan ibukota Republik Indonesia hampir memasuki babak penentuan akhir, melalui keputusan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara  presiden Joko Widodo telah menyetujui pemindahan Ibukota sebagaimana telah dikonfirmasi melalui Menteri Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Bambang Brodjonegoro. Melalui pernyataannya menyatakan bahwa Ibukota Republik Indonesia dari Provinsi DKI Jakarta akan dipindahkan ke pulau Kalimantan. Provinsi DKI  Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tercantum di dalam Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 Pasal (3) bahwa Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi yang berpeluang sebagai pengganti peran DKI Jakarta sebagai ibukota negara diantaranya adalah wilayah provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah  dan Kalimantan Selatan. Melalui pernyataan resmi pemerintah menyatakan keputusan ini telah melalui berbagai kajian panjang dan intensif oleh tim kajian dari berbagai sektor dan bidang keilmuan, baik itu kajian secara geografis,kebencanaan,sosial politik, pertahanan, lingkungan serta aspek fundamental lainnya. Sedangkan penentuan lokasi Ibukota diantara tiga opsi provinsi tersebut akan diumumkan oleh presiden Joko Widodo pada bulan Agustus ini setelah kajian menyeluruh dirampungkan. Pulau Kalimantan yang secara geografis terletak di tengah-tengah Indonesia dengan potensi yang ada  dianggap sebagai opsi yang paling tepat untuk menciptakan visi paradigma dan wajah baru Indonesia yang strategis.

Tak dipungkiri persoalan realisasi ide pemindahan ibukota telah menciptakan gelombang masif dalam perbincangan hangat di setiap lapisan masyarakat, muncul dialog   pro maupun kontra  hadir dalam ruang-ruang dan diskursus publik. Terlepas dari pro dan kontra yang berkembang analisis yang objektif perlu menjadi bahan pertimbangan untuk menentukan arah berfikir, dalam sejarahnya  pemindahan Ibukota Indonesia sudah beberapa kali terjadi, baik itu karena dalam kondisi keadaan memaksa (overmacht) saat  pasca kemerdekaan didorong situasi yang tidak kondusif maupun karena suatu pertimbangan lainnya. Hingga akhirnya Jakarta kembali ditetapkan sebagai Ibukota Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 hingga sekarang.

Berlatar dari kondisi Ibukota Jakarta yang saat ini dianggap sudah tak lagi memenuhi daya dukung yang mumpuni dalam meneruskan kerangka dan konstruksi visi pembangunan nasional yang mana hal ini diakibatkan oleh semakin beratnya beban dari Ibukota Jakarta saat ini karena menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat bisnis dalam puluhan tahun terakhir, sehingga kondisi demikian disebut telah mewarisi setumpuk permasalahan sehingga selama tiga puluh tahun terakhir kesemrawutan dan kompleksitas masalah di Ibukota Jakarta memuncak seperti banjir, kemacetan kronis, urbanisasi yang cepat, masalah lingkungan hidup sehingga kondisi itu menciptakan segregasi dan kesenjangan sosial  yang menghambat kinerja dari kebijakan visioner yang dirancang untuk menjadi acuan dalam kebijakan strategis  pengelolaan dan pembangunan nasional.

Potensi untuk pemerataan pembangunan, tujuan pemindahan ibukota bukanlah hanya didasarkan atas pertimbangan tunggal atau soal Jakarta semata namun berbicara soal visi dan paradigma baru Indonesia yang strategis kedepannya dalam pembangunan iklim kawasan yang kondusif, setelah sekian lama paradigma pembangunan  Indonesia seolah signifikan hanya bersifat jawasentrisme, dan ini terbukti hampir 60% penduduk Indonesia berdomisili di pulau jawa dan 80%  industri berada dipulau jawa sehingga kekuatan ekonomi dan sosial hampir tertumpu dan terpusat di pulau jawa, hal ini tentu bukanlah kondisi yang ideal dalam tatanan sosial bernegara, karena akan  memicu ketegangan-ketegangan karena energi dan sumberdaya yang tidak mengalir secara adil dan merata disetiap wilayah sehingga menciptakan paradoks dalam iklim pembangunan negara. Dengan Pemindahan Ibukota akan memberikan ruang terciptanya pemerataan pembangunan setiap kawasan bahkan menciptakan kawasan kekuatan baru dalam roda perekonomian.

Pemindahan ibukota bukanlah sebuah proyek  yang murah, berdasarkan rancangan anggaran dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional biaya yang dibutuhkan untuk merealisasikan proyek pemindahan ibukota memerlukan biaya tidak kurang dari 466 Triliun rupiah, sedangkan jika melihat kondisi hari ini dengan kemiskinan yang masih menjadi problematika utama, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada bulan maret 2019 angka kemiskinan mencapai 25,14 juta jiwa atau setara dengan 9,41% penduduk Indonesia, angka yang bisa dikatakan masih rapor merah bagi pemerintah.  Pertanyaannya apakah sudah tepat dengan kondisi yang demikian pemindahan Ibukota dijadikan sebuah rencana prioritas negara saat ini.

Namun apapun nantinya yang akan menjadi arah kebijakan  jangka panjang tentu bukan bicara kepentingan golongan atau wilayah namun untuk indonesia sehingga diharapkan mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila sila ke-5 agar dapat terwujud sesuai dengan peruntukan dan cita-cita luhur yang muncul dan tertanam bagi negeri dari para founding father Republik Indonesia.