Pemilu dan Post-Election Stress Disorders: Apakah Indonesia Memerlukan Pembekalan Mengenai “Acceptance” Kepada Calon-Calon Legislatif?

Oleh Ariana Maharani
Penerima Manfaat BAKTI NUSA 9

Baru saja kita lalui pesta demokrasi terbesar di Indonesia, yakni Pemilihan Umum 2019. Namanya juga pemilihan, jelas ada yang terpilih dan tidak terpilih. Untuk yang terpilih, mungkin sekarang mereka sedang merayakannya dengan makan-makan “All You Can Eat” di hotel atau di restoran, namun bagaimanakah dengan mereka yang tidak terpilih?

Dalam ajang demokrasi tahun 2019 ini, 245.106 caleg DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota akan saling bertarung memperebutkan suara dari masyarakat, yang mana mereka hanya memperebutkan 10% kursi, dan artinya akan ada 200.000 orang gagal dan pastinya kecewa karena tidak berhasil menjadi anggota dewan.

Pemilihan Umum (Pemilu), selain menghasilkan pemimpin-pemimpin baru, ternyata tak dapat dipungkiri juga dapat menghasilkan pasien-pasien baru. Post-Election Stress Disorder (PESD) atau Gangguan Stres Pasca Pemilu, adalah gangguan gejala stres yang dapat menyebabkan masalah potensial dalam fungsi pribadi, sosial, hingga pekerjaan, seperti diantaranya merasa berkecil hati, bingung, tertekan, susah tidur, depresi, tak nafsu makan oleh iklim politik yang terjadi. Itu baru di tingkat psikis. Pada tingkat fisik, saat psikis tidak bersahabat, fisik pun turut tidak bersahabat. Sakit kepala, pusing, sakit leher, begah, diare adalah beberapa di antara sekian banyak contoh yang lain. Stres pun diketahui dapat memperburuk penyakit kronis yang sudah ada sebelumnya. PESD dapat dialami oleh para fanatik politik, para calon legislatif (caleg), hingga kepada calon presiden dan wakil presiden, siapapun yang terlibat dalam perlombaan politik dalam pemilu.

Menyoroti apa yang dilakukan oleh para caleg pada setiap pemilu, apalagi bercermin pada tahun 2019 ini, dimana mereka berlomba memperebutkan untuk menjadi salah satu dari 10% kursi, tentu hanya duduk-duduk sambil minum menyeruput teh di depan rumah adalah hal yang tidak mungkin dilakukan oleh para caleg. Mereka tentu bekerja keras menyambangi rumah warga untuk blusukan dari satu rumah ke rumah yang lain berdiskusi dan berbincang mengenai problema yang dirasakan warga sehingga  tentu menyita pikiran dan juga tenaga, dan kalaupun ada caleg yang tidak blusukan, paling tidak ada hal lain yang blusukan salah satunya adalah blusukan dana. Apalagi jika dana yang dipakai adalah dana hasil pinjaman dan jumlahnya besar tentu akan menimbulkan masalah tersendiri bagi caleg yang tak berhasil menjadi aleg alias anggota legislatif. Ajang kampanye politik 2019 sudah menjadi saksi usaha-usaha para caleg dari usaha yang rasional hingga irrasional dalam memenangkan kontestasi politik tersebut. Pada akhirnya, depresi, psikosis, pikiran bahkan percobaan bunuh diri adalah produk pasca pemilu selain fluktuasi ekonomi ataupun arah polarisasi politik. Kondisi ini perlu menjadi perhatian bersama yang tak kalah pentingnya.

Pembahasan mengenai Pemilu dan Post-Election Stress Disorder di Indonesia, sudah mencuat dari tahun 2004, berlanjut setiap momen pesta demokrasi hingga sekarang di tahun 2019. Indonesia pun terus memikirkan bagaimana caranya berbenah dengan situasi kesehatan jiwa bangsanya pada tahun politik dan setiap usainya pesta demokrasi. RSUD dan RS Jiwa sudah mencoba mengantisipasi lonjakan pasien gangguan jiwa pasca pemilu untuk memfasilitasi caleg-caleg dengan tindakan kuratif alias mengobati.

Pertanyaannya adalah, jika setiap pemilu pola yang terjadi seperti ini, apakah Indonesia memerlukan pembekalan pentingnya “Penerimaan (Acceptance)” sedari awal sekali mencalonkan diri kepada calon-calon legislatif sebagai upaya dan langkah preventif untuk gangguan stres pasca pemilu?

Preventif adalah sebuah tindakan yang diambil untuk mengurangi atau menghilangkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan di masa depan. Tindakan preventif biasanya lebih murah biayanya jika dibandingkan dengan biaya mengurangi dampak peristiwa buruk yang terjadi.

Belum semua caleg di Indonesia sudah memahami konsep penerimaan, belum semua caleg memahami bahwa pemilu hanyalah permainan dunia, dimana ada yang menang dan kalah. Memang, kapasitas setiap orang dalam merespons terhadap suatu hal yang tidak sesuai harapan tentu sangat berbeda-beda.

Pembekalan mengenai pentingnya Acceptance (salah satu dari 4A manajemen stres, selain Avoid, Alter, dan Adapt) yang mungkin bisa diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum di masing-masing daerah, bekerja sama dengan Dinas Kesehatan di masing-masing daerah, lalu menjadikan agenda pembekalan merupakan salah satu syarat si calon caleg menjadi caleg.

Penulis beropini bahwa hal ini bisa jadi satu hal penting yang bisa dipertimbangkan oleh pemerintah, agar kejadian lonjakan pasien-pasien gangguan stres pasca pemilu tidak terulang kembali pada pemilu 2024, mengingat tahun 2024 adalah era dimana tentunya teknologi akan jauh semakin maju, penyebaran informasi tentu semakin cepat, hoax-hoax tentu tidak mudah untuk dibendung, yang akhirnya menciptakan iklim politik yang semakin tidak nyaman bagi kita semua yang merayakan pesta demokrasi. Kan namanya juga pesta, bukankah kita semuanya harusnya berbahagia?