Menteri Agama Republik Indonesia, Bapak Fachrul Razi, beberapa waktu yang lalu menghebohkan publik dengan mencetuskan wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi pemerintahan. Beliau berpendapat bahwa cadar merupakan budaya Arab-bukan budaya Indonesia dan wacana tersebut dilemparkan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas keamanan di instansi pemerintahan menyusul adanya kasus penusukan yang dialami oleh Bapak Wiranto beberapa waktu sebelumnya.
Sebagian masyarakat mungkin mengira bahwa atribut pakaian seperti cadar dan celana cingkrang berkaitan dengan kelompok-kelompok radikal yang erat kaitannya dengan terorisme. Atribut pakaian yang demikian sebagai bentuk ekspresi fanatisme terhadap keyakinan yang dianut. Kebijakan pelarangan cadar dan celana cingkrang bagi ASN sebagai upaya menangkal masuknya paham radikalisme di instansi pemerintahan. Namun benarkah demikian adanya dan efektifkah jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan?
Faktanya, sebagian madzhab dalam Islam menganjurkan untuk mengenakan cadar bagi wanita dan ada pula dalil yang menganjurkan agar celana berada diatas mata kaki. Sayangnya, belum banyak masyarakat umum yang mengetahui hal ini. Ditambah dengan catatan peristiwa bom bunuh diri yang pernah terjadi di Indonesia dilakukan oleh orang-orang yang beratribut demikian, semakin menguatkan persepsi sebagian masyarakat bahwa cadar dan celana cingkrang adalah ciri dari kalangan teroris meskipun sejatinya itu tidak benar adanya. Radikalisme lebih tepat kita sebut sebagai sebuah ideologi yang tertanam dalam diri seseorang tanpa memperdulikan atribut pakaian ataupun simbol ekspresi yang digunakan dan tanpa memperdulikan agama orang tersebut.
Pelarangan cadar dan celana cingkrang untuk menjaga stabilitas keamanan perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut. Penelitian yang telah dilakukan oleh pakar psikologi sosial David Webber dari Virginia Commonwealth University, AS, dan para koleganya di tahun 2017 dengan sampel para narapidana teroris gerakan separatis di Sri Lanka justru menunjukan bahwa cara efektif menangkal paham radikalisme bukanlah dengan mengubah keyakinan agama seseorang, namun dengan menyeimbangkan antara identitas keagamaan dengan identitas alternative, seperti keluarga, karir, pendidikan, dan lain sebagainya.
Umumnya orang yang dapat terpengaruh ideologi radikal dikarenakan sedang mengalami kehilangan arah tujuan dan makna hidup. Ini merupakan kesempatan yang dapat diisi oleh kelompok radikal untuk mempengaruhi dengan cara memberikan alternatif tujuan hidup seperti masuk surga. Ketika pemahaman tersebut telah tertanam, maka mereka akan melakukan segala cara agar dapat meraih tujuan tersebut bagaimanapun caranya.
Riset yang dilakukan oleh Joevarian Hudiyana, seorang peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, menunjukan bahwa ketika identitas alternatif sudah muncul maka pelaku terorisme tidak akan mendukung kekerasan atas nama agama. Ini terjadi meskipun ideologi radikal masih melekat di dalam benak mereka. Temuan tersebut beliau dan rekan-rekan peroleh dengan menganalisis profil-profil hasil wawancara terhadap 86 narapidana teroris yang telah menjalani program rehabilitasi pada 35 penjara di Indonesia. Ada lebih dari 200 narapidana teroris di Indonesia saat beliau dan rekan-rekan melakukan penelitian, dan saat ini ada lebih dari 600 narapidana teroris yang sudah bebas.
Disisi lain, apabila tujuan pelarangan tersebut adalah untuk menjaga stabilitas keamanan, instansi pemerintah dapat melakukan tes maupun wawancara terhadap seluruh ASN terkait dengan ada atau tidaknya paham radikalisme di dalam diri ASN. Selain itu, instansi pemerintah dapat menggunakan alat pemindai retina sehingga ASN yang bercadar tetap dapat terdeteksi.
Cadar dan celana cingkrang bukanlah ciri dari paham radikalisme.
Referensi: