Nasib Guru Honorer

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) dan Komisi II DPR RI  menyepakati untuk menghapus tenaga honorer dengan alasan hal ini diperlukan untuk mendapatkan sumber daya manusia atau SDM berkeahlian.

Pemerintah berasalan bahwa saat ini jumlah PNS Indonesia mencapai 4.286.918 orang, dan sekitar 70 persen berada di Pemerintah Daerah (Pemda). Dimana maka total tenaga honorer sebanyak 1.070.092 orang. Sehingga, jumlah keseluruhan dinilai tidak imbang karena 1/3 dari total. Lalu, bagaimana nasib tenaga honorer jika dihapus?

Mereka harus mengikuti tes untuk menjadi Pegawai Pemerintan dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Selain itu juga sesuai porsi jabatan yang dibutuhkan setiap instansi. Bagi pegawai honorer yang tidak lulus mengikuti seleksi PPPK, nasibnya akan diserahkan ke Pemerintah Daerah (Pemda) yang bersangkutan. Jika instansi tetap memerlukan, tenaga pegawai honorer masih bisa dipekerjakan.

Salah satu permasalahan yang terjadi adalah pada guru honorer yang mendapat upah yang tidak layak, yaitu Rp 300 ribu per bulan padahal tenaga honorer yang diangkat resmi seharusnya penghasilannya sesuai Upah Minimum Regional (UMR) wilayah. Kendala utama pengangkatan tenaga kerja honorer menjadi PNS. Salah satunya adalah keengganan pemerintah daerah (Pemda) menanggung gaji tenaga honorer usai diangkat menjadi PNS. Pemda justru meminta hal itu menjadi kewajiban pusat.

Penghapusan tenaga honorer di seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah membuat cemas para pegawai honorer. Mereka dibayangi ketidakpastian kerja. Banyak guru honorer yang dipekerjakan selama puluhan tahun yang hingga kini belum ada pertanda dirinya akan diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pemerintah tidak memberikan solusi yang jelas bagi pegawai honorer. Lantas bagaimana nasib tenaga honorer? Bagaimana kelak mereka diputus kontrak?