Mewujudkan Inklusivitas Lembaga Pendidikan melalui pengelolaan Wakaf Produktif

Ditulis oleh Halah (BAKTI NUSA Angkatan 9)

Dalam firman yang Allah turunkan pertama kali ialah berbicara tentang perintah Iqra’, yang secara bahasa dapat diartikan sebagai kata perintah untuk membaca, bacalah!

Kata ini erat kaitannya dengan aktivitas yang dihubungkan dengan pembelajaran, hal ini pula yang membuktikan bahwa islam meletakkan keilmuan sebagai konsep dasar manusia dalam menjalani kehidupannya.  Perintah untuk membaca tersebut mengandung sebuah semangat bagi seluruh muslim di dunia ini untuk terbuka dengan ilmu pengetahuan.

Semangat ini tentu sangat menginspirasi kita semua, buktinya hingga hari ini telah banyak bermunculannya lembaga pendidikan, mulai dari tingkat TK hingga perguruan tinggi, semua saling berlomba lomba dalam menciptakan formulasi gagasan untuk mewujudkan pendidikan terbaik, perkembangan ini diikuti dengan kurikulum yang sudah sangat beragam, serta range biayanya pun beragam ada yang tidak dipungut biaya sama sekali namun adapula yang berbiaya sangat tinggi.

Apakah hal demikian menjadi salah untuk dilakukan?

Tentu tidak, hal demikian dapat menjadi dibenarkan seperti pepatah yang juga disebutkan oleh imam syafi’i bahwa “Syarat mendapatkan ilmu itu ada enam. (Yakni) cerdas (sehat akal), rakus yaitu rakus dalam menyerap ilmu-ilmu, bersungguh-sungguh, cukupnya modal (harta, kemampuan, dan usaha yang keras), guru yang mengajarkan, dan waktu yang lama.”

Berdasarkan perkataan Imam Syafi’i diatas ada prasyarat yang harus dipenuhi bagi para penuntut ilmu, salah satunya yakni cukupnya modal, meliputi harta, jadi adalah wajar ketika dalam sebuah lembaga pendidikan mengenakan biaya yang harus dibayarkan oleh para peserta didiknya dalam proses pembelajaran.

Namun yang perlu dicermati bagi para pengelola lembaga pendidikan adalah tujuan dari pendirian lembaga itu sendiri apakah biaya yang dikeluarkan oleh peserta didik diperuntukkan sebagai ladang garapan dalam menambah pendapatan bagi seseorang atau memang diperuntukkan sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan, apabila terjadi pergeseran orientasi dalam hal ini tentu akan menyelisihi semangat dari tujuan pendidikan itu sendiri, seperti yang disebutkan oleh Tan Malaka bahwa tujuan pendidkan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.

Image by Sasin Tipchai from Pixabay

Isu komersialisasi pendidikan merupakan sebuah isu yang menarik untuk dibahas, dimana pada konsep dasarnya adalah pendidikan haruslah mampu untuk diakses oleh semua orang bukan hanya segelintir kalangan kecil saja, ironisnya image pendidikan yang terbangun hari ini ialah bahwa sekolah yang mahal akan berbanding lurus dengan kualitas pendidikan yang ditawarkan, fakta akan hal ini tentu tidak terbantahkan dimana memang sekolah dengan kurikulum yang mapan, fasilitas yang lengkap, ruang kelas yang nyaman tentu akan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para siswa dalam menerima pelajaran.

Namun, di sisi lain ketidakterjangkauan biaya membuat para orang tua tentu lebih memilih menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah tanpa biaya tinggi atau sekolah-sekolah gratis yang sudah disediakan oleh pemerintah.

Permasalahan keuangan menjadi salah satu permasalahan yang seringkali dihadapi bagi kebanyakan lembaga penyelenggara pendidikan, terlebih saat pandemi COVID ini dimulai, sektor pendidikan mendapat tekanan yang sangat tinggi untuk dapat beradaptasi dengan pembelajaran secara digital mulai dari para guru hingga orang tua murid, hal ini juga menjadi permasalahan yang sangat dilematis bagi lembaga swasta yang hanya bertumpu pada keuangan yang berasal dari para peserta didik, macetnya SPP siswa, perlunya tambahan anggaran untuk melengkapi sapras sekolah hingga komplain dari para wali siswa untuk mengurangi beban pembiayaan selama pandemi.

Sehingga dalam kondisi ini, perlunya sekolah untuk membangun sistem keuangan yang mapan dan berkelanjutan yang akan dapat sangat membantu mengatasi munculnya permasalahan yang terjadi saat pandemi berlangsung, seperti perlunya menyediakan akses memadai untuk sarana dan prasarana dalam pembelajaran secara digital, pembelian gadget, pengadaan pelatihan e-learning hingga kepada pengadaan perangkat-perangkat lain yang mendukung seluruh pembelajaran secara optimal.

Lantas bagaimana cara membangun sistem keuangan berkelanjutan bagi penyelenggara pendidikan?

Menjawab pertanyaan demikian tentu kita dapat mengambil hikmah dari kisah sukses tentang pengelolaan wakaf produktif yang dilakukan oleh Universitas Al-Azhar yang telah berdiri hampir 1000 tahun silam. Selama perjalanan didirikannya Al Azhar, telah banyak ulama’, pemikir, mujaddid yang terlahir dari sana, dan hingga saat ini ada ribuan mahasiswa yang tengah menjalani pendidikan di Al-Azhar. Saat ini pengelolaan wakaf produktif di Universitas Al Azhar diserahkan kepada Badan Wakaf Al-Azhar yang berada di bawah Kementrian Wakaf Mesir. Hingga kini, Badan wakaf al-Azhar masih aktif menyokong dan mengelola harta wakaf yang diperuntukkan bagi beasiswa, asrama mahasiswa, dan kegiatan-kegiatan lainnya sesuai visi pendidikan kampus tersebut.

Image by lapping from Pixabay

Di  Indonesia kisah sukses ini telah menginspirasi Pondok Modern Gontor dalam mengelola keuangan lembaga sehingga dapat menyokong biaya operasional yang dikeluarkan dalam pendidikan, dengan memberdayakan wakaf secara produktif, gontor telah memiliki banyak aset yang dapat menyokong tiap operasional yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan.

adapun konsep wakaf itu sendiri ialah pokok yang telah di wakafkan tidak boleh sedikitpun berkurang, sehingga perlu dilakukannya pemanfaatan aset secara produktif dalam pengelolaannya, sehingga kedepannya dengan adanya pengelolaan yang mapan maka dapat dihasilkan kebermanfaatan wakaf yang lebih luas, dalam hal ini bisa jadi lembaga pendidikan yang bernaung di yayasan mulai menyisipkan gerakan wakaf yang dibingkai dalam program sekolah, seperti menyisihkan sebagian persentase dari iuran yang dibayarkan oleh para wali siswa untuk dikelola melalui mekanisme wakaf. Atau bisa pula menggunakan skema wakaf berjangka dalam pengelolaan dana saat pendaftaran siswa baru hingga kepada pembelian aset-aset produktif sekolah yang akan terus memberikan sokongan dana bagi operasional yang dibutuhkan, pendanaan riset dan kajian hingga kepada peningkatan kapasitas dan kapabilitas bagi para pendidik, dan penyediaan fasilitas rumah dan tunjangan pensiun bagi para pendidik.

Kesuksesan ini tentu dapat sangat membantu terwujudnya insklusivitas dalam pendidikan di sebuah lembaga, dan akan memberikan dampak yang dapat dirasakan oleh kalangan masyarakat secara luas. Hal ini juga dapat memperkecil gap yang terjadi di masyarakat, tanpa harus kehilangan taring bahwa lembaga pendidikan yang gratis tentu memiliki daya saing yang unggul, hal ini tentu dapat melawan stigma yang dilekatkan pada lembaga lembaga pendidikan yang berbiaya tinggi yang menjamin akan kualitas pendidikan yang ditawarkan.

Sebagai penutup, sebetulnya pengelolaan yang demikian juga telah diadaptasi oleh lembaga pendidikan di barat seperti harvard, cambridge, oxford dan lain sebagainya, yang biasa disebut dengan istilah endowment fund atau dana abadi pendidikan, yang konsepnya merupakan hasil adaptasi dari  konsep wakaf itu sendiri. hal ini memang membuktikan sejatinya, ajaran islam merupakan rahmatan lil ‘alamin. Maka dari itu, mari bangkit dengan pengelolaan wakaf sebagai bentuk daripada penghambaan kepada Rabb, semoga kedepannya banyak terlahir lembaga-lembaga pendidikan yang kompetitif, adaptif dan mampu menjangkau setiap orang.