Merajut Asa di Atas Bukit Nisan Bergota

Pragota.

Sebuah pelabuhan di pesisir Utara Pulau Jawa yang cukup terkenal pada Abad ke 8 Masehi. Dahulu, Pragota menjadi salah satu tonggak ekonomi Kerajaan Mataram Kuno yang di sisi wajahnya dihiasi pulau pulau kecil nan indah. Meskipun namanya tidak se-masyhur Sunda Kelapa, namun keberadaaan Pragota menjadi kunci bagi para pelaut yang akan singgah ke Jawa Tengah. Sayang sekali, di abad ke 10, Pragota ditinggalkan seiring dengan berakhirnya kejayaan Mataram Kuno. Pelabuhan yang kian lama kian berubah bentuk akibat proses sedimentasi itu, akhirnya berubah nama menjadi Bergota.

Siapa sangka, Bergota yang dulunya pelabuhan, kini justru menjadi bukit yang menjulang tinggi di tengah landainya dataran pesisir Semarang. Bukan bukit pasir, bukit bunga, bukit bintang, apalagi bukit cinta. Bergota zaman sekarang adalah bukit yang terkenal sebagai Bukit Nisan terbesar di pusat Kota Semarang, tepatnya di selatan Tugu Muda. Barisan nisan yang terpampang jelas setiap kali menikmati indahnya langit Tugu Muda, menjadi pengingat bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati (QS. Ali Imran: 185).

Sore itu, dibawah silaunya sinar senja, aku berhenti di belakang garis putih lampu merah Tugu Muda. Ku tatap nanar, seorang bocah 10 tahun yang dengan baju lusuhnya menghampiriku dengan tangan mengadah. Raut wajahnya memelas, seakan jika tak kuberi dollar hari ini, dia tak akan hidup keesokan harinya. Namun di sisi jalan, ku baca larangan berbunyi “Orang yang memberikan uang atau barang kepada anak jalanan, pengemis dan gelandangan, dipidana kurungan maksimal tiga bulan atau denda maksimal satu juta rupiah

Hatiku kala itu mendidih, mengumpat atas ketidakbecusan pemerintah yang dengan teganya membiarkan seonggok insan hidup kesusahan disaat mereka menikmati sejuknya plat merah beroda empat. Bagaimana bisa mereka membuat aturan seenak jidat tapi tak kunjung berbenah untuk rakyat. Dengan tangan yang sedaritadi kaku dan isi kepala yang penuh amarah, kutinggalkan bocah itu tanpa berbuat apapun, hanya mengharap kesungguhan pemerintah.

Waktu itu, kuanggap mereka yang tangannya selalu mengadah di persimpangan jalan adalah orang miskin. Tidak bersekolah, tidak memiliki puluhan sandang apalagi keluarga yang terpandang. Namun faktanya, diri inilah yang lebih miskin. Diri inilah yang berpikir bahwa miskin atau kaya hanya perkara harta, diri inilah yang berpikir bahwa makmur tidaknya suatu rakyat hanya bergantung pada pejabat. Diri inilah yang duduk dengan tenang menikmati bangku perkuliahan, tanpa mengucur sedikitpun keringat untuk membenahi bangsa. Diri inilah yang suatu saat disadarkan oleh Allah bahwa kemiskinan yang nampak di mata, muaranya ada di pikiran. Diri ini lah yang kemudian ditampar oleh sebuah postingan cerita di sosial media. Cerita tentang seorang pedagang buah di pasar yang selalu tersenyum tatkala dagangannya belum laku terjual. Di sudut meja tempatnya berjualan terdapat tulisan yang berbunyi “Kayfa akhofu minal faqr wa ana abd Al-Ghaniy” yang artinya “Mengapa takut miskin, ketika aku adalah Hamba dari Yang Maha Kaya?”

Diri ini yang kemudian dipertemukan kembali dengan anak jalanan dan akhirnya bertekad, “mengapa tidak aku kayakan pikiranku dan aku kayakan pikiran mereka pula? Mengapa tidak sama-sama kita bebaskan kemiskinan yang membelenggu isi kepala?”

Hal inilah yang akhirnya membawaku ke Bergota, istana bagi anak-anak jalanan Tugu Muda. Siapa sangka, dibalik hebatnya sejarah Bergota, kini yang tersisa adalah hunian beralaskan tanah kubur yang ditempati oleh ratusan anak jalanan? Siapa menyangka, pemandangan bukit nisan yang disaksikan oleh setiap orang yang lalu lalang, adalah tempat bersenda gurau bagi anak jalanan di kala petang? Siapa sangka, hidup anak jalanan itulah yang di kemudian hari menjadi bagian dari perjalanan diri ini hingga sampai ke BAKTI NUSA.

Tekad untuk memperkaya pemikiran akhirnya diterapkan kepada anak-anak jalanan. Melalui komunitas Dynamic Learning Indonesia, anak jalanan diperkaya mental dan pikirannya agar mau kembali belajar. Perlahan mulai mereka tinggalkan aktivitas di persimpangan jalan yang selama ini mengkerdilkan pemikiran. Melalui 5 pilar pendidikan karakter yang diberikan, mereka mampu merubah pola pikir yang awalnya hanya bergantung pada pundi-pundi belas kasihan orang, menjadi mandiri dengan berkarya. Di atas tanah Bergota, perlahan kami ubah istana tak bernyawa menjadi istana penuh asa. Ingin kami bangkitkan kembali kejayaan tanah Bergota seperti dahulu kala. Ingin kami bangkitkan kaum-kaum muda penerus bangsa yang kaya akan karya. Tak ingin menopangkan beban hanya kepada pemerintah, kami ingin terus berusaha karena kami percaya bahwa “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum kaum itu sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka” (QS Ar-Rad: 11)

 

Ditulis oleh Osadhani Rahma Pemila

PM BAKTI NUSA 8 Semarang