Menjadi Manusia

Ketika suatu hari, terjadi suatu dialog dengan teman non muslimku di bangku SMA, yang bertanya alasanku memilih Islam, saat itu, setelah obrolan yang panjang, dengan kuasaNya, aku memberikan jawaban yang hingga kini aku syukuri telah menyampaikan kepadanya. Bahwasannya, Islam memiliki pedoman yang keotentikannya paling terjaga hingga hari ini. Al-Quran. Tak mungkin kekuatan manusia mampu menjaganya dalam waktu yang panjang di dunia seluas ini.


Dan saat itu aku menyadari bahwa memilih Islam dan menjadi muslim adalah syukur yang tak hingga, harta yang paling berharga. Sungguh, Ia Maha Mengetahui segala sesuatu atas ketidaksanggupan diri jikalau dibesarkan bukan dari orangtua yang mengajarkan kesempurnaan agama ini.


Karena bagaimanapun juga, meski setiap manusia fitrahnya terlahir Islam seperti persaksiannya ketika di alam ruh,

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS Al-A’raf:172)


Orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.

Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: tidak ada seorang manusia yang terlahir kecuali dia terlahir atas fitrah (kesucian seperti tabula rasa, kertas yang belum ditulis apapun, masih putih). Maka kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi (HR Abu Hurairah).


Dengan Islam, rasanya selalu tenang untuk berkata bahwa apapun yang terjadi memang atas izin-Nya. Bahkan dalam kondisi terjepit sekalipun, Islam membuat manusia akhirnya bergantung pada Kuasa Yang Maha Besar di luar kekuatan dirinya sendiri, diluar nalar logika yang bisa dibayangkan. Dan ketika yang terjadi terlalu indah untuk dibayangkan, bukankah memang itu semua memang atas kuasa-Nya. Tak mungkin manusia mampu membuat skenario kehidupan seindah ini.


Sungguh anugerah tak hingga seorang manusia, ketika memasuki kehidupan yang sebenarnya setelah kematian kelak dalam keadaan muslim. Mati sebagai Islam.


Dalam suatu kesempatan, ust Akmal Sjafril menyampaikan bahwa Islam membuat manusia mempunyai sebuah kepastian. Kepastian untuk segala hal yang terjadi di dunia. Kepastian atas makna hidup. Kepastian akan kehidupan yang sebenarnya setelah kematian.


Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya‘qub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah Memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS al-baqarah:132)


“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS.Ali Imran:102)


Maka, mari kita sama-sama berdoa,
“(Wahai Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS Yusuf ayat 101).


MENJADI MANUSIA adalah tentang menjadi Islam. Maka, refleksi ini mengarah kepada seberapa terdidik kita untuk mendidik diri menjadi pribadi yang mengenal diri seutuhnya, memahami tujuan hidup dan tujuan penciptaan kita, menjaga nilai-nilai dan harga diri kita di hadapan Allah swt. dan memahami Islam sebagai kekuatan kita hari ini, dan tentu memahami Allah sebagai satu-satunya Zat Yang Maha Tinggi diatas segalanya.