MENILAI KONTRIBUSI MAHASISWA DARI BEM SI, PANTASKAH?

MENILAI KONTRIBUSI MAHASISWA DARI BEM SI, PANTASKAH?

(Bagian 1)

Oleh : Khabib Anwari

Penerima Manfaat Bakti Nusa 9 Regional Yogyakarta

 

Tidak tenang, kecewa, dan marah, itulah kesan pertama penulis melihat komentar warganet dalam video press release BEM SI tentang hasil kongresnya di IPB yang diunggah di situs berbagi video YouTube. Dalam video tersebut, terlihat jelas perwakilan para “elite” BEM dari berbagai kampus berjajar rapi untuk menyampaikan Kongres Kebangkitan Mahasiswa kepada awak media. Salah seorang mahasiswa menyampaikan beberapa point hasil kongres dan dilanjutkan dengan sesi tanya – jawab dengan awak media. Dalam kesempatan tersebut, mahasiswa memberikan berbagai buah pikir serta sikap mahasiswa atas nama BEM SI tentang kontestasi politik tahun 2019. Sebagai seorang mahasiswa semester akhir yang dulu pernah berkecimpung di dunia organisasi mahasiswa, tentunya penulis menyambut positif gagasan dan ide – ide hebat yang disampaikan oleh mereka meskipun tidak sepenuhnya bangga. Mengapa?

https://www.youtube.com/watch?v=hurMvSHaTs0

Berbagai respon positif maupun negative terpampang nyata di kolom komentar. Hampir sebagian besar penulis simpulkan berkomentar negative. Tidak sedikit pula yang membandingkan kualitas pergerakan mahasiswa dalam rangka mengawal kepentingan rakyat dengan aksi mahasiswa senior tahun 1998. Para “oknum” dalam kolom komentar tersebut dengan lugas menyampaikan bahwa mahasiswa saat ini hanya banyak bicara, omdo (omong doing), budak politik, hanya diskusi tanpa eksekusi, dan lain sebagainya. “mereka” beranggapan bahwa mahasiswa saat ini tidak jauh lebih baik dibandingkan mahasiswa 1998 yang dengan gagah berani dan bersama – sama menumbangkan rezim pemerintah yang “dianggap” tidak pro terhadap rakyat. Dalam beberapa hal, penulis sependapat dengan komentar bernada negative yang disampaikan oleh warganet. Lalu, apakah pantas BEM SI menjadi indicator kualitas pergerakan mahasiswa saat ini?

“Beda sama waktu kami dulu, langsung action, kalau mahasiswa tidak ada action percuma. Buktikan kalau mahasiswa sekarang bukan kaleng – kaleng” tulis seorang warganet dengan nama akun M.H.M Siregar.

“Ini cuma istirahat sebentar setelah main mobile legend, habis menghimbau ini ya main lagi. Mana mau mereka ngurusin kondisi bangsa saat ini. Memalukan” tulis seseorang dengan nama akun VIRAL NEWS TV.

“anak – anak mahasiswa sekarang tahunya game. Jadi gak berani aksi ke jalan” tulis sebuah akun dengan nama Rahmat Hidayat Tarigan.

“semoga kegiatan mahasiswa berjalan dengan lancar” tulisan seseorang bernama Muhammad Fadli Official.

Nampaknya bukan hal yang naif ketika banyak komentar pesimis terhadap kualitas pergerakan mahasiswa “ketika” menilai dari sudut pandang BEM SI. Mengapa? Sepanjang penulis menjadi mahasiswa dari tahun 2015, BEM SI adalah garda terdepan berbagai aksi turun ke jalan yang diakhiri dengan “sebatas” penyampaian nota kesepakatan ataupun ricuh dalam rangka menyuarakan kepentingan rakyat kepada pemerintah. Bahkan ketika sebuah acara televisi terkemuka mengangkat tema tentang mahasiswa, para “elit” BEM-lah yang diundang untuk angkat bicara dalam forum yang dipimpin oleh Najwa Sihab. Para ketua BEM yang tergabung dalam forum BEM SI layaknya adalah para “elite” mahasiswa yang menjadi figure panutan maupun cerminan atas keadaan maupun kualitas kontribusi mahasiswa dalam membangun bangsa. Kenapa bisa seperti ini? Paradigma yang dibangun di masyarakat tentang mahasiswa adalah “sebatas” pergerakan dan aksi mahasiswa dari segi politik. Media massa lebih memilih mem-viralkan aksi mahasiswa di jalan yang berakhir rusuh dibandingkan menyorot prestasi mahasiswa maupun aksi nyata mahasiswa di berbagai aspek lainnya seperti religi, teknologi, ekonomi, social, dan budaya.

Padahal di sisi lain banyak mahasiswa hebat yang sedang berjuang keras ikut serta membangun bangsa melalui aksi – aksi mereka. Yonathan Yolius Anggara, seorang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta yang berjuang memberikan fasilitas kepada mahasiswa lainnya di Yogyakarta untuk mengembangkan potensi diri sekaligus media memberikan manfaat kepada orang lain melalui komunitas yang dia beri nama CES (Center of Excellent Student) Jogja. Dengan semangat juang yang tertuang dalam slogan “Mencerdaskan orang sholih, mensholihkan orang cerdas”, Yonathan dan rekan – rekannya berjuang membesarkan CES Jogja. Terhitung sampai tahun 2019, Yonathan telah mampu mendampingi mahasiswa dalam meng-upgrade ketrampilan akademik maupun non akademik dengan nilai – nilai islam. Bahkan di kampusnya, para mahasiswa dengan gelar Mahasiswa Berprestasi maupun ketua organisasi mahasiswa adalah orang – orang yang pernah belajar bersama Yonathan di CES Jogja.

Contoh lainnya adalah Zikro seorang mahasiswa jurusan pertanian Universitas Pembangunan Negeri (UPN) Yogyakarta yang berjuang bersama teman – temannya membantu petani agar dapat hidup sejahtera. Melalui komunitas yang ia beri nama “Temani Petani”, Zikro dan timnya mengimplementasikan ilmu pertanian yang ia dapatkan di kampus kepada petani. Zikro dan tim memberikan pendampingan kepada petani seperti cara menanam yang baik dan benar sehingga menghasilkan panen yang melimpah. Dari sedikit contoh kontribusi yang dilakukan oleh mahasiswa di atas, maka tidak salah ketika penulis mempertanyakan “kepantasan” menilai kontribusi mahasiswa dari BEM SI.

Tidak sedikit yang menyayangkan kualitas mahasiswa saat in tidak lebih baik dari mahasiswa dulu, utamanya mahasiswa tahun 1998 yang terlibat aksi reformasi. Tidak sedikit pula warganet yang memberikan komentar negative tentang mahasiswa saat ini yang tidak mau ikut demo dan turun ke jalan, apalagi mau membela kepentingan rakyat. Dengan tulisan ini, penulis ingin menyampaikan kepada khalayak umum bahwasanya pergerakan mahasiswa sampai saat ini masih berjalan. Ada banyak mahasiswa yang berjuang dengan berbagai aktivitas maupun komunitas yang mereka kerjakan. Akan sangat tidak adil ketika standar pergerakan mahasiswa “sebatas” pada demostrasi dan turun ke jalan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang hampir sebagian besar dari aspek politik. Kami (mahasiswa) diajarkan untuk menyikapi sesuatu secara komperhensif, kami juga selalu dituntut untuk aktif dalam berkontribusi kepada orang lain saat berkecimpung di dunia organisasi mahasiswa.

Meskipun penulis juga merasa kualitas ormawa di berbagai kampus pada saat ini tak lebih dari sebuah EO (Event Organizer) yang dituntut untuk melakukan berbagai program kerja serta berbagai manipulasi dana yang diajarkan dari kampus demi mempermudah proses administrasi, tetapi nyatanya masih banyak mahasiswa yang melakukan pergerakan di berbagai aspek seperti social,kemasyarakatan, ekonomi, budaya, dan agama. Mereka sadar bahwa pergerakan saat ini tidak bisa hanya dilakukan dari aspek politik, tetapi upaya – upaya “menyadarkan” dan “mencerdaskan” masyarakat adalah salah satu cara terbaik untuk membuat masyarakat peduli dan tahu bahwa negaranya sedang tidak sehat. Maha, pergerakan mahasiswa bukan hanya tentang turun ke jalan dan berdemo, melainkan perjuangan bersama masyarakat untuk merawat bangsa ini dari berbagai aspek.

…bersambung…