oleh Novia Handayani (PM BAKTI NUSA 9 wilayah Palembang)
Generasi Millennial adalah terminologi generasi yang saat ini ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di dunia di berbagai bidang. Generasi millennial atau yang lebih populer dengan sebutan generasi Y ini sangat identik dengan teknologi, internet, dan hiburan. Peneliti sosial sering mengelompokkan generasi yang lahir antara 1980-2000 sebagai generasi millennial. Jadi bisa dikatakan generasi millennial adalah generasi muda masa kini yang saat ini berusia antara 19–39 tahun. Studi tentang generasi millenial di dunia, terutama di Amerika, sudah banyak dilakukan. Di antaranya studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group (BCG) bersama University of Berkley tahun 2011 dengan mengambil tema American Millennials : Deciphering the Enigma Generation. Tahun 2010, Pew Research Center juga merilis laporan riset dengan judul Millennials: A Portrait of Generation Next. Berdasarkan penelitian-penelitian itu, inilah karakteristik generasi millenial tersebut:
1. Millennial lebih percaya User Generated Content (UGC) daripada informasi searah
2. Millennial lebih memilih ponsel dibanding TV
3. Millennial wajib punya media sosial
4. Millennial kurang suka membaca secara konvensional (Lebih memilih membaca e-book/ e-learning)
5. Millennial lebih tahu teknologi dibanding orangtua mereka
6. Millennial cenderung tidak loyal namun bekerja efektif
7. Millennial mulai banyak melakukan transaksi secara cashless (secara online)
Melihat karakteristik tersebut maka dapat disimpulkan bahwa generasi Millenial adalah generasi era digital. Ketertarikan dan kecenderuangan terhadap teknologi sangat besar sehingga internet berperan besar dalam keberlangsungan hidup Generasi Millenial. Berdasarkan Survei dari Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia, Indonesia menduduki peringkat 6 dari TOP 9 Negara Pengguna Internet terbesar di Dunia tahun 2014. Di Indonesia, Penggunaan internet dilakukan untuk mengakses media sosial (64%), mencari informasi (49%), Mengakses email (47%), download/streaming movie (47%), Chatting (47%), Belajar (47%), Main games (44%), Mencari informasi kesehatan (39%), Membaca/mendownload e-book (38%), Mencari informasi Organisasi (28%), Download software (19%), Menjual/membeli produk (15%), Internet Banking (11%), Teleconference (6%), dan lainnya (3%). Data ini menunjukkan secara real bahwa bagi Generasi Millenial, media sosial adalah salah satu medium untuk berekspresi dan berkomunikasi. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa generasi ini identik dengan generasi yang haus akan perubahan dan kebebasan.
Perubahan dan kebebasan yang dikehendaki oleh generasi Millenial menuai pro dan kontra. Media sosial yang dijadikan sebagai alat pengekspresian diri sebagai wujud perubahan dan kebebasan pun dapat melahirkan sterotype negatif pada generasi ini, misalkan seperti label “generasi narsis/ generasi labil”. Sedangkan disisi lain, Generasi Millenial dapat mengoptimalkan penggunaan media sosial sebagai media edukasi, informasi, social-control, dan entertain. Contoh konkritnya adalah dengan membuat komunitas ataupun diskusi online.
Ketergantungan anak muda Indonesia terhadap media sosial perlu dipahami sebagai manifestasi kolektivisme. Aplikasi dan perkembangan teknologi digital bukan merupakan faktor utama yang membuat anak muda tergantung terhadap media sosial. Akan tetapi share-culture lah yang berperan sebagai motor gerak adopsi media sosial. Dorongan kolektivisme semakin besar dikarenakan pengaruh globalisasi dan penguatan identitas dalam peergroup. Adanya indikasi untuk diakui dan mengakui merupakan latar belakang mengapa anak muda di Indonesia gemar menggunakan media sosial tanpa memikirkan ranah privasinya. Bagi anak muda di Indonesia, suatu hal yang menyenangkan maupun menyedihkan patut untuk dibagi dan dirasakan oleh teman sejawatnya melalui media sosial. Budaya inilah yang disebut dengan share-culture.
Disamping teknologi, ada beberapa hal yang menjadi fokus generasi millenial, diantaranya adalah music, fashion, film dan hobby seperti travelling atau shopping. Menurut literatur yang ditulis oleh Hasanuddin Ali, seorang Founder and CEO Alvara Research Center, Ketika kita berbicara dan mencoba membedah potret generasi millenial di Indonesia secara utuh, maka setidaknya ada lima isu utama yang perlu dikaji lebih mendalam yakni Pandangan Keagamaan, Ideologi dan Partisipasi Politik, Nilai-nilai sosial, Pendidikan-Pekerjaaan dan Kewirausahaan, Gaya Hidup-Teknologi dan Internet.
Jika kita berbicara tentang Pandangan Agama menurut Generasi Millenial, tentu sangat bertentangan dengan pandangan generasi para pendiri republik ini yang beranggapan bahwa sebagai bangsa dan negara kita perlu mendasarkan pada asas dan dasar negara yang melindungi setiap warga negara apapun asal-usul dan latar belakangnya, dan dasar negara yang disepakati adalah Pancasila. Namun Generasi Millenial lebih cenderung memikirkan hubungan agama dan negara. Bagi generasi ini, agama adalah pedoman untuk menjalankan suatu sistem negara agar tidak multi-tafsir dan bergeser dari haluan roda pemerintahan. Akan tetapi, seperti yang diketahui bahwasanya Indonesia merupakan negara demokrasi yang mengakui secara resmi keberadaan enam agama dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Padahal secara populasi, Indonesia didominasi oleh masyarakat muslim atau yang beragama Islam. Kerinduan generasi Millenial terhadap perubahan berpotensi mendorong mereka untuk berperan, salah satunya dengan menjadi seorang Pemimpin Indonesia.
Menjadi seorang pemimpin bukanlah perkara mudah. Pemimpin adalah orang yang paling kuat, paling cerdas dan berani. Secara implisit, semua manusia terlahir sebagai seorang pemimpin. Sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 30 bahwa “Allah hendak menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka bumi ini”. Namun, Seorang pemimpin haruslah memiliki jiwa Kepemimpinan. Berdasarkan Teori dan Konsep Kepemimpinan, Kepemimpinan merupakan setiap tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu/kelompok lain yang tergabung dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan bersama. Secara sederhana, kepemimpinan diartikan sebagai pelaksanaan otoritas dan pembuat keputusan. Pengertian tersebut menunjukkan bagaimana seorang pemimpin mampu menggunakan kewenangannya untuk menggerakan suatu organisasi melalui keputusan yang telah disepakati. Organisasi yang dimaksud adalah wadah atau lingkungan yang berada ditengah sekolah, kampus, institusi, dan masyarakat. Menurut Logemann, seorang Ahli Ilmu Negara mengatakan bahwa Negara adalah suatu organisasi kekuasaan yang meliputi sekumpulan manusia yang kemudian disebut bangsa.
Melalui pendekatan history dan kilas balik sejarah, kita mengetahui bahwa Negara Indonesia ini merdeka dikarenakan adanya semangat dan dukungan dari para pemuda. Mulai dari berdirinya Boedi Utomo pada tahun 1908, Pengikraran Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan Proklamasi tahun 1945. Tak hanya itu, pada saat perebutan kemerdekaan, Indonesia juga dipimpin oleh Bung Karno yang masih terbilang muda. Mengutip dari perkataan Bung Karno yaitu “Berikan aku seribu orang tua, maka akan kucabut merapi dan akarnya. Dan berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia!”. Kalimat yang sangat populer dalam kalangan masyarakat ini melahirkan optimism bahwa masa depan Indonesia berada dalam genggaman pemuda.
Berdasarkan data dan fakta dari beberapa literatur mengenai generasi milineal, penulis percaya bahwa generasi ini sangat cocok untuk dijadikan Inkubator Pemimpin Indonesia dikarenakan generasi millenial sangat menyukai perubahan dan sangat efektif dalam bekerja. Untuk membentuk generasi millenial sebagai pemimpin, diperlukannya Kampus sebagai Inkubator Moral Pemimpin Masa Depan. Secara struktural, kampus adalah gambaran sederhana dari sebuah Negara. Mahasiswa seolah-olah berperan sebagai pejabat kampus dengan menduduki posisi strategis dilini masing-masing. Lini ini biasanya disebut UKM atau Unit Kegiatan Mahasiswa yang juga bisa dikategorikan sebagai Organisasi Kemahasiswaan. Ada tiga lini yang berkembang di dalam kampus, yaitu siyasih, dakwih, dan ilmy. Untuk menjadi seorang pemimpin kampus atau yang biasanya disebut dengan julukan Presiden Mahasiswa haruslah mumpuni dalam ketiga lini tersebut. Mengapa Demikian? Analoginya begini, tanpa kaki seseorang tidak bisa berjalan, tanpa mata seseorang tidak bisa melihat, dan tanpa tangan seseorang akan sulit bergerak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketiga lini tersebut sangat berkaitan dan saling membutuhkan.
Berbicara tentang status quo atau keadaan sekarang, ada begitu banyak permasalahan yang terjadi di kalangan generasi millenial. Tanpa di sadari arus peluang dan tantangan sangat deras dikarenakan pengaruh teknologi dan globalisasi. Kasus Kenakalan Pemuda seperti free-sex, Tawuran dan Penyalahgunaan minuman keras dan obat-obatan terlarang setiap minggunya tersiar di berbagai media massa dari berbagai penjuru di Indonesia. Penyebabnya adalah krisis identitas dan kontrol diri yang lemah. Itulah mengapa sangat diperlukan pendidikan agama bagi para pemuda agar tidak terjerumus pada masa depan yang kelam. Faktor Orangtua, teman sebaya dan lingkungan pergaulan juga sangat mempengaruhi terjadinya kenakalan pada pemuda.
Padahal secara harfiah, pemuda adalah the time of life between childhood and maturity, early maturity, the state of being young or immature or inexperienced, the freshness and vitality characteristic of a young person. Definisi ini dapat diinterpretasikan bahwa pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, penuh vitalitas, bergejolak dan optimis akan tetapi belum memiliki pengendalian emosi yang stabil karena masa transisional psikologisnya. Lebih lanjut, Syamsudin, seorang Psikolog mengemukakan bahwa peran pemuda selalu sentral dalam perubahan, mengingat dalam jiwa pemuda selalu ada hasrat yang dinamis. Ciri khas dari seorang pemuda adalah semangatnya yang menyala-nyala. Sehingga dapat dikatakan bahwa usia muda adalah usia paling produktif.
Untuk mewujudkan pemuda yang produktif dan bebas dari permasalahan kenakalan dan pengaruh buruk, Santrock,2003 mengemukakan bahwa ada sebelas komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (1) Perhatian Individu yang intensif, (2) Pendekatan kolaboratif dengan berbagai perantara dalam masyarakat luas, (3) Identifikasi dan Interval awal, (4) Bertempat di sekolah/kampus, (5) Pelaksana program sekolah/kampus dengan perantara di luar sekolah, (6) Lokasi program di luar sekolah/kampus, (7) Perencanaan pelaksanaan pelatihan, (8) Pelatihan Keterampilan Hidup, (9) Penggunaan teman sebaya dalam intervensi, (10) Penggunaan orang tua dalam intervensi, dan (11) Keterlibatan dunia kerja.
Persoalan-persoalan yang dihadapi pemuda juga haruslah diselesaikan dengan pendekatan secara sistematik dan holistik. Pendekatan secara personal, kelompok, sosial dan juga dengan pendekatan struktur dengan melibatkan semua komponen dan sumberdaya yang ada. Sebagai kaum pemuda, Generasi millenial diharapkan mampu berperan aktif sebagai garda terdepan dalam proses perjuangan, pembaharuan dan pembangunan. Khusus di Indonesia, secara tertulis pedoman untuk pemberdayaan pemuda sudah tertuang dalam UU No.40 tahun 2009, “Pemberdayaan pemuda dilaksanakan secara terencana, sistematik, dan berkelanjutan untuk meningkatkan potensi dan kualitas jasmani, mental spiritual pengetahuan serta keterampilan diri dan organisasi menuju kemandirian pemuda”. Terlebih lagi pada pasal 16 UU No.40 tahun 2009 ini menyatakan bahwa “Pemuda berperan aktif sebagai kekuatan moral, kontrol sosial dan agen perubahan dalam segala aspek pembangunan nasional”.
Arus globalisasi membuka peluang sekaligus menjadi tantangan bagi para generasi millenial. Peluang untuk go-international sangatlah besar, baik berupa student ex-change, conference, ataupun international competition. Peluang inilah yang dirasakan oleh para generasi millenial sehingga tidak menutup kemungkinan generasi millenial akan lebih mudah sekali menyerap budaya-budaya asing. Inilah yang menjadi tantangan besarnya, ketika para generasi millenial mulai terhanyut dalam arus globalisasi, otomatis hal ini akan mengikis budaya sendiri. Sebagai negara makmur yang merdeka, Indonesia kental akan budaya sopan santun dan gotong royongnya. Akan tetapi, budaya baik itu kian menghilang, karena generasi ini lebih memilih hidup dengan smartphonenya daripada harus bersosialisasi di tengah masyarakat. Di Indonesia, hanya ada 40% kaum pemuda yang mulai menyadari bahwa tantangan hidup lebih besar pada masa ini dan mulai bergegas mempersiapkan diri untuk bersaing secara kompetitif dengan masyarakat global.
Potensi yang begitu besar pada generasi millenial dikarenakan keunikannya sebagai generasi yang terpelajar, flexible dan multitasking. Generasi Millenial sudah seharusnya mulai memperbaiki dan memperdalam ilmu agamanya. Agama merupakan aqidah atau pedoman kehidupan manusia. Dengan agama, seseorang akan berusaha menjadi pribadi yang baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan keji. Dan sebaliknya, tanpa agama seseorang akan merasa kosong dan rentan melakukan tindakan kejahatan. Menurut KBBI, Agama adalah prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan aturan syariat-syariat tertentu. Jika Kristen dengan Kitab Injilnya, Buddha dengan Kitab Tauratnya maka Islam dengan Al-Qur’annya. Di Indonesia, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya” sebagaimana tercantum dalam pasal 28E ayat 2 UUD NRI 1945. Dengan dasar inilah, setiap orang di Indonesia berhak hidup beragama dan sikap toleransi dijunjung tinggi pada masa generasi millenial ini.
Untuk menjadikan seorang pemuda yang berasal dari generasi millenial sebagai inkubator pemimpin Indonesia haruslah berkarakter islami. Mengapa islami? Karena Mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama Muslim. Sehingga untuk mendapatkan dukungan besar dari masyarakat, Pemimpin Indonesia juga haruslah berpegang teguh pada Al-Qur’an, Al-Hadist dan norma norma yang berlaku dalam masyarakat. Meskipun demikian, hal tersebut memang tidak menjamin bahwa Pemimpin tersebut akan memimpin dengan baik. Karena pada kenyataannya, begitu banyak pemimpin yang beragama islam justru tidak dapat memimpin dengan baik, bahkan diantaranya terperangkap dalam lingkaran Korupsi Kolusi dan Nepotisme, Perbuatan asusila, dan pelanggaran norma lainnya. Hal ini mungkin dilatarbelakangi karena pemegang kekuasaan di berbagai lapisan daerah masyarakat masih dikuasai oleh generasi Baby boom dan generasi X yang lahir pada rentan tahun 1946-1976.
Dengan karakteristik Generasi Millenial yang menguasai teknologi dan ilmu pengetahuan, generasi ini dapat dibentuk menjadi pemimpin bangsa yang ideal apabila di didik dengan pendidikan karakter yang berbasis islami. Adapun Karakteristik Pemimpin Ideal menurut Islam adalah dengan mengikuti suri tauladan kita, Nabi Besar Muhammad SAW, yaitu dengan membentuk kepribadian menjadi seseorang yang siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabliq (komunikatif) dan fathonah (cerdas). Empat hal tersebutlah yang menjadi kunci utama kesuksesan Rasulullah dalam memimpin umatnya. Pada zaman sekarang, memang sulit menemukan pemimpin yang jujur, dapat dipercaya, komunikatif dan cerdas karena kebanyakan dari pemimpin sekarang hanyalah berorientasi untuk memperkaya diri sendiri tanpa menjalankan amanah yang disematkan diatas pundaknya.
Oleh karena itu, dengan pendidikan agama, pendidikan moral dan karakter, serta pendidikan ilmu pengetahuan menjadi sangat penting dalam proses pembentukan inkubator pemimpin Indonesia. Mengapa inkubator? Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Indonesia sudah saatnya dipimpin oleh kaum pemuda, yang mungkin dari segi pengalamannya tidak lebih banyak dari kaum tua. Namun, berdasarkan pengamatan sosial, kaum muda sangat berpotensi melakukan pembaharuan dan perubahan yang signifikan.
Jika di kampus para pemuda generasi millenial hanya mendapatkan bekal dari bangku kuliah tentang fokus disiplin ilmu yang dipilihnya dan juga bekal organisasi tentang kepemimpinan, team-work, dan juga soft-skills. Maka kini telah hadir banyak sekali beasiswa-beasiswa yang menawarkan pelatihan-pelatihan leadership, entrepreneurship, pendidikan karakter, pembekalan ilmu agama seperti tahsin yang menuntut para penerima manfaat beasiswa tersebut menjadi sosok yang unggul dan berkompeten untuk diproyeksikan sebagai pemimpin ideal bangsa Indonesia yang merupakan negara hukum sekaligus menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Adapun tiga segi yang harus diterapkan oleh Pemimpin Indonesia:
1. Keteladanan dalam caranya memposisikan konstitusi hukum, peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam wilayah kepemimpinannya, apakah pada tingkat nasional ataupun daerah. Pemimpin yang patut diteladani adalah pemimpin yang tunduk pada hukum dan perundang-undangan yang sudah ditetapkan melalui proses hukum dan proses politik yang demokratis. Konstitusi dan Hukum diatas segala-galanya.
2. Keteladanan dalam sikapnya dalam menghadapi permasalahan maupun tindakannya dalam menghadapi krisis tertentu. Pemimpin yang perlu diteladani adalah pemimpin yang selalu bersikap teguh memegang keyakinan bahwa prosedur dan institusi demokrasi adalah satu-satunya cara menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan kolektif, dengan demikian menutup kemungkinan masuknya kekuatan-kekuatan anti-demokrasi ataupun kekuatan-kekuatan yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Prosedur dan Institusi adalah cara menyelesaikan masalah, bukan pemaksaan kehendak kekerasan.
3. Keteladanan dalam perilakunya yang selalu menghindari cara-cara non-demokratis maupun melawan hukum dalam melaksanakan kebijakan tertentu ataupun dalam menggunakan sumber-sumber daya pembangunan dalam mencapai tujuan tertentu yang sudah digariskan. Singkatnya, Pemimpin yang baik tidak akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan tertentu.
Kriteria tersebut harus dipenuhi untuk menjadi pemimpin di era demokrasi seperti sekarang ini. Untuk memenuhi kriteria tersebut, Pemberdayaan Pemuda harus dilakukan melalui social capital. Modal sosial (Social capital) merupakan salah satu pendekatan untuk memperdayakan pemuda dengan terencana, sistematis dan berkelanjutan. Social capital diperkenalkan oleh Putnam, ia mengungkapkan bahwa hubungan antara masyarakat lebih bersifat horizontal, karena semua masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Putnam mengatakan bahwa modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial, jaringan, norma dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif untuk mencapai tujuan bersama. Artinya seorang pemimpin harus memiliki hubungan yang baik dengan bawahannya ataupun relasinya sehingga terbentuklah sebuah kolaborasi yang hebat. Oleh karena itu Generasi Millenial dapat diperdayakan melalui pendekatan social capital.
Ada begitu banyak cara yang dapat diaplikasikan untuk menjadikan generasi millenial sebagai inkubator pemimpin Indonesia yang berkarakter islami. Dikarenakan kini generasi millenial kerap kali mengalami krisis karakter, maka sudah saatnya generasi millenial membentuk karakter islami dalam diri sehingga generasi ini yang didominasi oleh kalangan mahasiswa/i dapat menjalankan fungsinya sebagai agent of change dan social control dengan baik. Kesimpulannya, Generasi Millenial yang menyukai tantangan dan perubahan yang positif sangat mudah dibentuk karakternya dalam nuansa islami melalui organisasi ataupun program beasiswa kepemimpinan. Hal ini diyakini karena Islam mengatur tentang pemimpin yang adil, peduli, pekerja keras, memprioritaskan kepentingan umum dan dapat diteladani oleh semua orang.
“Membentuk seorang pemimpin memang bukanlah hal yang mudah, namun berusaha untuk melakukannya adalah suatu hal yang mulia.”