Semua ini berawal dari sebuah kegelisahan. Ketika melihat hasil tracer study, saya tersadar bahwa begitu banyak mahasiswa dan fresh graduate di Indonesia Timur harus menunggu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan pekerjaan pertama mereka. Angka 6–18 bulan bukanlah hal kecil. Saya membayangkan bagaimana rasanya berdiri di titik itu: sudah lulus, penuh semangat, tapi tidak tahu harus melangkah ke mana.
Saya pun bertanya pada diri sendiri, “Kalau saya bisa melakukan sesuatu, sekecil apa pun, mengapa tidak dicoba?” Dari situlah lahir gagasan untuk mendirikan Alumnest — sebuah ruang belajar bersama, tempat anak muda bisa saling berbagi, bertumbuh, dan menemukan jalan menuju masa depan mereka.
Proses Pelaksanaan
Perjalanan ini tentu tidak singkat. Saya bersama tim mulai dari langkah paling dasar: membentuk pengurus, menyamakan visi, hingga menyusun rencana kerja. Rasanya seperti merakit kapal sambil belajar berlayar.
Kami lalu meluncurkan berbagai program. Ada Skill-Up untuk melatih keterampilan praktis, Career Talk yang menghadirkan alumni muda profesional, hingga Meet the Mentor yang memberi ruang bagi mentee bertanya langsung tentang dunia kerja. Bahkan, kami juga membuat Alumnest Job Channel di WhatsApp, supaya informasi magang dan kerja bisa diakses dengan cepat.
Di balik setiap program itu, ada banyak cerita: diskusi tengah malam, revisi modul berkali-kali, bahkan kendala teknis saat acara berlangsung. Tapi di sanalah justru kami belajar arti ketekunan dan kerja sama.
Enam bulan terakhir ini benar-benar menguji saya. Mengatur waktu di tengah kesibukan kuliah, magang, dan project bukanlah hal mudah. Ada kalanya saya merasa kewalahan, bahkan hampir menyerah. Tetapi dari situ saya belajar untuk menyusun prioritas dan lebih disiplin pada jadwal.
Keterbatasan dana juga memaksa kami kreatif. Kami harus memutar otak agar program tetap berjalan dengan biaya yang terbatas: mulai dari mencari sponsor, menggunakan Canva dan CapCut untuk membuat konten, sampai memaksimalkan media sosial.
Saya juga belajar bahwa menjaga keterlibatan peserta tidak cukup hanya dengan materi bagus. Butuh pendekatan yang lebih personal, sesi yang interaktif, bahkan sekadar memberikan apresiasi kecil agar mereka merasa dihargai.
Yang paling berharga, saya sadar bahwa komunikasi adalah kunci. Saat tim sempat goyah karena perbedaan pendapat atau ketidakaktifan, saya belajar menjadi jembatan: mendengar, menengahi, dan mencari solusi bersama.
Dari perjalanan ini, saya melihat hasil yang nyata. Ratusan mahasiswa dan fresh graduate ikut terlibat dalam program. Banyak dari mereka mengatakan lebih percaya diri menulis CV, lebih siap menghadapi interview, bahkan ada yang berhasil mendapatkan magang setelah mengikuti mentoring.
Bagi saya pribadi, dampak terbesar justru terasa dalam diri sendiri. Saya belajar bahwa kepemimpinan bukan soal memimpin orang lain, tetapi tentang bagaimana saya mampu mengelola diri, mendengarkan dengan hati, dan berani mengambil keputusan.
Saya percaya Alumnest baru saja memulai langkahnya. Masih banyak yang bisa dilakukan, masih banyak mahasiswa di luar sana yang membutuhkan akses, dukungan, dan inspirasi.
Harapan saya sederhana: semoga Alumnest bisa terus menjadi rumah bagi anak muda Indonesia Timur untuk bermimpi dan berjuang bersama. Saya ingin melihat lebih banyak wajah-wajah baru yang berani mengambil peluang, lebih banyak kisah sukses yang lahir dari ruang kecil ini.
Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang program atau project. Ini tentang jejak kecil yang kita tinggalkan, langkah yang kita kuatkan, dan dampak yang semoga akan terus bergema di masa depan.