Maria Al-Qibthiyah

 

Maria Al-Qibthiyah, hamba sahay dari Mesir. Nama lengkapnya Maria binti Syama’un, dari suku Qibthi di negara Mesir. Ibunya keturunan bangsa romawi sedang ayahnya adalah seorang laki-laki dari Qabthi. Maria berparas sangat cantik, rambutnya ikal, kulitnya putih. Sikapnya sopan dan ia juga cerdas. Beruntung ia mewarisi kecantikan ibunya dan lebih beruntung karena ia tidak mewarisi ayahnya yang berkulit hitam-legam layaknya seorang budak dengan ciri khas parasnya. Di sela-sela pekerjaannya, dia tetap memperkaya dirinya dengan membaca kitab-kitab. “Maria, kamu kok membaca kitab terus? Ingat Maria, kita hamba sahaya. Tidak ada gunanya menjadi pintar. Kita tetap akan seperti ini, mejadi budak. Yaa, cukup dengan tenaga kita saja kita kerjakan tugas kita.” Maria hanya tersenyum menanggapi kalimat-kalimat dari teman seperbudakannya. “Aku tidak mau menjadi hamba sahaya biasa. Meskipun kita hidup kita terikat kepada majikan tapi cara berpikir kita tidak, bukan berarti kita tidak boleh menjadi pintar, bukan? Jawab maria dengan senyum optimisnya. Bait ini mengajarkan saya bahwa meski raga terjajah, tapi otak-pikiran tetap bisa merdeka.

Maria merupakan seorang budak di kerajaan Alexandria, Mesir yang dipimpin oleh seorang raja bernama Muqauqis, seorang pemeluk agama Kristen Koptik. Mari pun beragama yang sama dengan rajanya. Maria selalu mengerjakan tugasnya dengan baik. Hingga suatu hari, raja Muqauqis mendapat surat dari rasul Allah, Muhammad bin Abdullah. Surat tersebut berisikan syiar rasulullah untuk mengajak nya memeluk agama islam. Surat itu ditulis dengan Bahasa yang begitu santun tanpa pemaksaan sama sekali. Menanggapi hal tersebut, raja Muqauqis merasa tidak enak hati untuk menolak namun ia juga mempertahankan agama yang ia peluk sejak ia lahir dan merupakan agama sudah turun temurun. Kemudian, raja Muqauqis memutuskan untuk mengirim surat penolakan beserta hadiah-hadinya untuk rasulullah sebagai permintaan maafnya karena telah menolak ajakan rasulullah.

Kepada Muhammad bin Abdullah.
Dari Muqauqis, pemimpin Qibthi.
Kesejahteraan bagi engkau, amma ba’du. Aku sudah membaca surat yang engkau kirimkan dan bisa memahami isinya serta apa yang engkau seruhkan. Aku sudah mengetahui bahwa akan datang seorang nabi lainnya. Tetapi, aku mengira kalau dia akan datang dari Syria. Aku sudah memperlakukan utusan engkau dengan sebaik-baiknya. Aku mengirimkan dua orang hamba sahaya sebagai hadiah untuk engkau. Aku juga mengirimkan pakaian dan tungganngan (Daldal-seekorkuda putih kesayangannya yang merupakan kuda dengan jenis yang sangat langka). Salam sejahtera bagi engkau.

Masyaallah, indah sekali surat tersebut. Surat penolakan yang begitu santun dan menyejukkan hati. Alangkah indahnya jika problema sikut-menyikut antar agama pada zaman sekarang bisa disikapi dengan cara yang sama seperti yang dicontohkan pada zaman rasulullah.

Singkat cerita, satu dari dua orang budak yang dihadiahkan oleh raja muqauqis kepada rasulullah adalah Maria. Awalnya Maria sempat mengkhawatirkan nasibnya, namun berkat sikap yang rasulullah teladankan, tanpa membedakan strata manusia, ia semakin menyukai islam, semakin semangat mendalami islam. Maria menjadi Mualaf di tengah perjalanannya menuju Madinah.
Kehadiran Maria membuat Istri-istri rasulullah cemburu. Hingga rasulullah sempat mengharamkan Maria baginya, namun kemudian Allah menegurnya dalam Q.S. At-Thamriim: 1 “Wahai Nabi! Mengapa engkau mengharamkan yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin menyenangkan hati istr-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Kemudian Rasul menikahi Maria, setahun berikutnya Maria hamil anaknya rasulullah. Setelah 9 bulan, bayinya dilahirkan dan dinamai Ibrahim bin Muhammad. Kelahiran Ibrahim sudah membebaskan Maria dari statusnya sebagai Hamba sahaya. Namun sayang, belum genap dua tahun, Ibrahim lebih dulu meninggalkan ayah dan ibunya karena sakit. Satu tahun setealh kepergian Ibrahim, rasulullah juga menghembuskan napas terakhirnya. Setelah meninggalnya rasulullah, Maria dan istri-istri nabi yang lain dirundung kerinduan yang begitu dalam. Mereka lalu menyibukkan diri mereka dengan menjadi taat setiap harinya. Karena tujuan mereka ingin menjadi pantas untuk dipertemukan dengan rasulullah di surga-Nya, sebab kerinduan mereka terhadap rasulullah sangat dalam. Semua istri rasulullah tidak menikah lagi setalah kepergian rasulullah. Maria wafat pada tahun ke 16 Hijriyah, 5 tahun setalah rasulullah.

Maria Al-Qibthiyah, istri rasulullah yang tak seterkenal istri-istri rasul yang lain. Maria Al-Qibthiyah, hamba sahaya yang Allah angkat derajatnya melalui pernikah dengan rasulullah dan sempat melahirkan anaknya rasulullah. Maria Al-Qibthiyah, budak, gadis berparas cantik yang membuat rasulullah jatuh cinta. Maria Al-Qibthiyah, juga istri rasulullah meski tak seharum yang lain namanya.