Sebuah Penyangkalan Awal
Pada tulisan ini, penulis ingin membahas tentang pesimisme. Jika setiap saat aktivisme selalu identik dengan optimisme dan sangat menarik banyak penggemar, maka tulisan ini dapat dianggap sebagai anti-thesis narasi aktivisme pada umumnya. Akan tetapi, guna meminimalisir kemungkinan miss guiding diawal, penulis kira, harus ada disclamer yang harus penulis berikan tentang maksud dari uraian singkat berjudul “Mari Berambisi Untuk Mengurangi Ambisi”.
Dalam beberapa menit kedepan, pembaca akan membaca sekelebat filosofi alternatif (penulis pribadi) dalam menjalankan aktivisme. Di awal, harus penulis mesti tekankan. Filosofi ini tidak dimaksudkan untuk menyalahkan pandangan yang lain. Tetapi, dimaksudkan untuk memberikan cara pandang baru melihat aktivisme. Jika terdapat nantinya terdapat perbedaan, bukan berarti penulis ingin membatalkan konsep aktivisme dari aktivis lain (khususnya BAKTNUSA). Melainkan tulisan ini hanya menyoal filosofi alternatif. Sama seperti kebanyakan orang yang ingin pergi dari kampus menuju pasar dengan menggunakan angkutan jurusan X, dimana mereka ingin melewati jalan A – jalan B- Jalan C dan seterusnya. Pada tulisan ini, Penulis ingin membahas “jalan lain” dari kampus, via Jalan A, Jalan E, F dan seterusnya. Jadi, semua pandangan bisa jadi benar. Kita semua dapat bersama-sama pergi ke tujuan kita masing-masing yakni “pasar ” tapi bersama tidak berarti sama bukan?
Mari Mulai!
Cerita ini, Penulis mulai dari pengalaman Penulis dari SMAN 4 Padang menuju Universitas Andalas, jurusan Hubungan Internasional. Seperti mahasiswa lainnya, diawal masuk masuk kampus, Penulis banyak mendapat motivasi tentang bagaimana menjadi mahasiswa yang “ideal” seperti ikut organisasi, ikut kegiatan, ini itu dan lain sebagainya. Berbagai cara seperti catat mimpi mu, bikin daftar target, tempel di kamar, dll selalu saja akrab di telinga anak-anak baru setiap tahunnya. Hal ini juga terjadi pada penulis. Karena Penulis masih terbilang “polos”, maka, Penulis mengikuti segala hal doktrinasi positif awal tahun ini.
Akan tetapi, ternyata lambat laun Penulis menemukan cara-cara yang sering diberikan pada awal tahun ini, bisa jadi toxic (racun) untuk Penulis. Entah mengapa, hidup Penulis terasa diburu-buru target. Semua terasa seperti “kerjakan ini, kerjakan itu, target ini, target itu.” Memang terdapat rasa senang, ketika beberapa target berhasil tercapai dan penulis dapat memberikan tanda check pada daftar target yang penulis rancang. Tetapi, rasa stres dari daftar dan kejar mengejar target ini justru lebih banyak. Sebab pada dasarnya, manusia selalu ada target lain. Begitu juga dengan Penulis. Alhasil, Perjalanan Penulis akhirnya terasa sumpek dengan target-target yang ada. Uniknya, Penulis mendapati bahwa hal yang sama juga terjadi pada lingkungan sekitar. Banyak mahasiswa sering melakukan aktivisme justru disebabkan oleh target- target seperti menjadi bintang aktivis kampus, menjadi senior yang keren, menjadi terkenal dll. Dari sini, Penulis mulai mencari dan bertanya kembali. Sebenarnya, kenapa sih kita melakukan aktivisme ? Atas dasar apa? Esensi apa yang kita perjuangkan?
Ngobrol Dengan Tuhan
Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan diatas, Penulis memulai pencarian dengan perenungan panjang. Sebagian narasi publik memberi nasehat seperti lakukanlah sesuatu dengan passion, agar memperoleh kesenangan. Namun, setelah itu katakanlah suatu saat menjelang kematian kita, apa yang kita peroleh dari passion dan kesenangan itu? Semakin lama, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepala.
Sampai suatu hari di Perpustakaan Universitas Andalas, Pencerahan Penulis dimulai pada sebuah buku yang ditulis oleh Naele Donald Walsch Berjudul Ngobrol Dengan Tuhan.
Di pengantar buku ini, terdapat tulisan kira-kira seperti ini ;
“Banyak orang mengira bahwa setiap orang hanya bertemu Tuhan dengan sebuah penampakan awan, sinar yang menyilaukan, dan lain-lain. Tentu saja Aku (Tuhan) bisa datang dengan cara seperti itu. Tapi, Tuhan tidak harus selalu hadir dengan cara demikian bukan?”
Tuhan dapat hadir, dengan cara paling senyap. Yakni via kepala kita. Via otak kita Dengan bahasa kesunyian. Sebab, Tuhan tidak perlu bahasa untuk membuat kita mengerti. Dia hanya perlu membuat pemahaman itu “duduk” di kepala kita.
Berawal dari kalimat Walsch, Penulis mulai bertanya ke diri Penulis; “apa yang Tuhan ingin dari Penulis untuk Penulis lakukan?”
Singkat cerita, dari obrolan Penulis bersama Tuhan (yang diinspirasi oleh iraian Walsch), Penulis mendapatkan hasil seperti yaitu Penulis memiliki peran sebagai aktivis yang bergerak di bidang pemikiran. Di awal perjalanan “ngobrol” Penulis dan Tuhan sering memiliki percakapan yang terbilang singkat. Seperti perlahan-lahan namun datang setiap Minggu, bulan, atau waktu-waktu tertentu. Bagi penulis, tugas Penulis adalah mengerjakan “pesan-pesan” yang penulis terima. Dari sinilah Penulis sendiri, mulai kehilangan banyak ambisi Penulis hanya mengikuti pesan-pesan yang ada. Terkadang ada hal-hal yang Penulis sukai, namun tidak jarang ada yang tidak. Tetapi, selama itu pesanNya, Penulis kerjakan saja.
Salah satu pesan yang Penulis kurang penulis sukai diawal adalah perihal mengikuti seleksi Mahasiswa Berprestasi (MAWAPRES). Tunggu dulu, sebelumnya penulis ingin menggaris bawahi bahwa Penulis kira MAWAPRES itu bagus. Hanya saja, Penulis pribadi berpendapat jika Penulis punya prestasi, lantas apa? Untuk apa Penulis memiliki gelar MAWAPRES?. Maksudnya, gelar MAWAPRES (menurut Penulis) sangat merepotkan. Sebab, gelar ini pada akhirnya membuat Orang-orang akan mempunyai ekspektasi yang tinggi ke pemiliknya. Dampaknya, mau tidak mau, kita harus mengikuti itu. Hal inilah yang pertama kali penulis pertimbangkan sebelum ditunjuk sebagai perwakilan jurusan. Akan tetapi, saat itu, pesan yang Penulis dapat ” Penulis harus ikut ini”. Ya sudah, Penulis kerjakan.
Singkat cerita, Alhamdulillah penulis terpilih sebagai MAWAPRES utama Universitas Andalas. Di awal, penulis tidak mengerti maksud Tuhan ketika memimbing penulis untuk menempuh jalan MAWAPRES ini. Kemudian, beberapa tahun setelahnya barulah Penulis mengerti maksud pesan itu. Ternyata, semuanya adalah skenario Tuhan untuk membuat Penulis dapat memiliki banyak hal sampai saat ini. Salah satunya, yang paling berharga adalah menjadi bagian dari Aktvis Se-nusantara yakni BAKTINUSA. Sebuah program bagi aktivis se-Indonesia yang tentu saja tidak diragukan lagi reputasi dan kiprahnya.
Akibat perngalaman ini, perjalanan aktivisme Penulis bukan lagi ambisi atau passion personal. Penulis hanya mengikuti pesan-pesan dariNya. Lantas apa perbedaan filosofi aktivisme ini dengan nasehat-nasehat yang biasa kita dapat di seminar-seminar?
Yang paling Penulis syukuri adalah Hidup Penulis Tenang. Ya, Penulis tidak lagi diburu-buru target atau terbuai dengan rasa senang dari passion saja. Penulis merasa tenang dengan perjalanan penulis yang dituntun oleh pesan-pesan Tuhan. Tidak ada lagi kehidupan kampus yang diburu-buru target. Semua Penulis jalani dengan mudah. Step by step. Di awal kuliah, Penulis tidak pernah, mencari info tentang BAKTINUSA. Sampai suatu hari, pesan baru sampai; daftar ini!. Seperti biasa, Ya sudah, mari daftar. Kemudian, disinilah Penulis sekarang. Bersama seluruh aktivis terpilih se-nasional yang sangat luar biasa.
Lika liku perjalanan aktivisme yang bertahun tahun Penulis jalani, Penulis menyimpulkan satu hal; Hidup ini tenang, apabila dijalani dengan ikhlas hati. Hal yang terpenting yakni jangan pernah protes, walaupun banyak hal yang terjadi tidak sesuai keinginan kita. Sebagaimana firman Tuhan “Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”, maka adalah kewajiban untuk mempercayai pesan Tuhan dalam semua kesempatan di hidup ini.
Perlahan-lahan, ambisi Penulis mulai berkurang. Kini Satu-satunya ambisi yang Penulis miliki adalah ; mengurangi ambisi itu. Jujur, Penulis lebih senang mengikuti pesan-pesan yang datang kepada Penulis ketimbang memiliki daftar keinginan sendiri. Sebab, pintas saja, semua daftar pada akhirnya akan kembali pada keputusan Tuhan. Hasilnya? berbagai pengalaman dan prestasi mulai dari tingkat nasional hingga internasional penulis dapat tuliskan di rekan jejak penulis. Sehingga, penting untuk diingat. Tidak memiliki rencana, bukan berarti pemalas. Tetapi, bagi Penulis ini lebih soal filosofi hidup masing-masing.
Jadi, jangan menyerah mencari filosofi kita masing-masing. Dan jangan lupa, bertemanlah dengan Tuhan, dalam keadaan apapun. Tuhan itu maha keren! Kita saja yang kadang yang terlambat sadar. Akhir kata, mengurangi ambisi dalam uraian ini, lebih kepada bagaimana kita melakukan segala sesuatu hanya karena Tuhan, bukan karena karena ingin atau passion. Bahkan keinginan kita sendiri. Sekian, dan mari diskusi!