Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah mengakibatkan pukulan telak diberbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, baik itu sektor formal terlebih bagi sektor informal, tak hayal kondisi ini mengakibatkan guncangan hebat bagi stabilitas nasional serta menyuburkan ketidakpastian ditengah-tengah masyarakat. Secara global jumlah korban terinfeksi pendemi COVID-19 menunjukan grafik yang cenderung meningkat, dimana hingga rabu 31/03 WHO (World Health Organization) mengumumkan COVID-19 telah menjangkiti sebaran wilayah di lebih dari 200 negara di dunia, jumlah korban terinfeksi mencapai 785.797 kasus, 19.378 diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia sendiri data terakhir 31/03 pada pukul 11.59 WIB pemerintah telah mengkonfirmasi melalui gugus tugas percepatan penanganan COVID-19 nasional bahwa total kasus positif COVID-19 di Indonesia telah memasuki angka 1.414 kasus dengan episenter kasus penyebaran tertinggi yakni di propinsi DKI Jakarta dengan 741 kasus, dan pandemi telah menjangkiti 30 propinsi lainnya di Indonesia, artinya telah menjangkiti hampir seluruh wilayah propinsi di Indonesia, dengan angka kematian pasien tercatat 122 kasus, dan 75 pasien dinyatakan sembuh., Dengan angka ini menggambarkan bahwa tingkat kematian atau case fatality rate (CFR) di Indonesia lebih dari 8% atau masuk lima besar kasus kematian COVID-19 terparah di dunia, maka tidaklah berlebihan menyatakan bahwa darurat kesehatan di Indonesia telah berada diluar batas penalaran yang wajar, artinya posisi Indonesia saat ini adalah sangat mengkhawatirkan.
Dengan fakta dan data ini tak menampik muncul gelombang desakan berbagai pihak agar pemerintah mengambil langkah kebijakan lockdown atau dalam bahasa undang-undang karantina wilayah, karantina wilayah terus didengungkan secara masif, bahkan beberapa kepala daerah nekat mengambil inisiatif menutup akses ke wilayah pemerintahannya masing-masing dengan klaim kebijakan local lockdown. meskipun mendapat teguran dari pemerintah pusat, karena pada rule of law Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 Pasal 10 ayat (1) menyatakan karantina wilayah atau lockdown adalah mutlak kewenangan pemerintah pusat. keputusan dari berbagai kepala daerah di wilayah yang melakukan kebijakan karantina wilayah untuk menyelamatkan masyarakat di daerahnya merupakan wujud dan bukti bahwa lambatnya pemerintah pusat yakni dalam hal ini Presiden untuk menetapkan sikap bahwa status pendemi COVID-19 menjadi darurat kesehatan nasional. Maka tak sampai hati untuk menyalahkan tindakan kepala daerah mengambil keputusan local lockdown sepihak, mengingat ancaman penyebaran virus yang bisa semakin meluas dan tak terkendali.
Tidaklah berlebihan jika desakan untuk karantina wilayah mutlak dilakukan dan bentuk langkah kongkret yang harus dilakukan, mengingat penyebaran COVID-19 menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan nyawa masyarakat Indonesia, Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 Tahun 2018 menyebut kondisi ini sebagai kedaruratan kesehatan, yaitu dengan membatasi mobilitas dan pergerakan orang agar tak bebas keluar masuk ke zona merah (red zone) pandemi. Hal yang mesti dirampungkan segera adalah keputusan cepat pemerintah untuk membentuk peraturan pemerintah (PP) sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan yang menjadi domain pemerintah sepenuhnya.
Status darurat bencana COVID-19 yang diumumkan pemerintah pada tanggal 29 Februari 2020 atau sudah berjalan selama lebih satu bulan bisa dikatakan masih jauh dari kata efektif, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan secara menyeluruh dan mengeluarkan kebijakan dengan berkaca dari pengalaman berbagai negara yang telah melewati gelombang pandemi COVID-19 agar mampu menjawab segala persoalan secara paripurna, karena sejauh ini tindakan pemerintah dengan himbauan WFH (Work From Home), belajar dirumah, beribadah dirumah ,social distancing, physical distancing dan himbauan masyarakat untuk menunda ritual mudik belum mampu menahan laju penyebaran COVID-19 yang terus meroket.
Berkaca dari langkah strategis negara-negara yang telah berhasil menekan laju penyebaran COVID-19 melalui kebijakan lock down maka sulit untuk menghindari langkah yang sama, maka dengan mengukur segala resiko, resesi ekonomi, sosial dan sebagainya pemerintah mesti mengambil pilihan menetapkan kondisi ini sebagai status keadaan darurat kesehatan karena impact nya akan mengimbangi dalam pola kebijakan lanjutan yang lebih terukur, baik itu dengan karantina wilayah untuk daerah tertentu (red zone) ataupun secara nasional yakni untuk sementara membatasi mobilitas penduduk dalam suatu wilayah untuk akses keluar masuk yang dikonfirmasi terkontaminasi penyakit beserta pembatasan aktivitas penduduk yang ketat agar dapat memutus mata rantai penyebaran COVID-19.
Menurut ahli-ahli ekonomi, bahwa sebenarnya Indonesia mampu menerapkan lock down yakni dengan persiapan dan perencanaan matang skema pembiayaan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang terdampak lock down disiasati dengan realokasi APBN dengan menerbitkan Keppres (Keputusan Presiden) untuk mengalihkan anggaran dari sektor tertentu yang masih bisa ditunda ke sektor prioritas utama. Memang dengan skema ini konsekuensi defisit akan melebar dan utang pemerintah akan meningkat, tapi itu semua masih dalam batas aman, kesehatan dan keselamatan masyarakat harus ditempatkan diatas segalanya. menarik jika kita beralih sedikit apa yang dilakukan Presiden Ghana, Presiden Ghana Nana Akufo Addo dalam pidatonya saat memutuskan Ghana lock down meskipun dapat dikatakan jumlah infeksi di Ghana masih relatif rendah, ia mengatakan dalam pidatonya bahwa sesuai sumpahnya saat dilantik sebagai Presiden pada 2017 lalu, tugasnya adalah untuk melindungi rakyat Ghana, “Kita tahu cara menghidupkan kembali ekonomi, tapi kita tidak tahu cara menghidupkan kembali manusia”. Berangkat dari situasi hari ini, maka kini tanggungjawab dan keputusan dalam pengambilan kebijakan fundamental ada pada tangan negara untuk menjalankan tugasnya menyelamatkan dan melindungi segenap masyarakat Indonesia. “Salus populi suprema lex esto”, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi.