Oleh Ahmad Shofwan Syaukani, PM 9 BAKTINUSA Regional Bandung
Pada suatu kondisi manusia itu akan berada pada titik kebingungan yang membuat dirinya lebih memilih untuk mempersiapkan bekal ilmu terlebih dahulu sebelum melakukan perjalanan, dibandingkan dengan mencari ilmu sambil melakukan perjalanan. Kedua hal tersebut merupakan pilihan masing-masing individu, karena kita tidak bisa memaksakan pilihan orang lain yang menurut kita itu baik. Baik menurut kita belum tentu baik menurut orang lain, maupun sebaliknya. Akan tetapi, memilih diantara kedua kondisi tersebut dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan apa yang sebenarnya sedang kita cari. Yang bahaya ialah ketika kita memutuskan berjalan tetapi tidak menggunakan ilmu, tidak dipersiapkan dan juga tidak mempelajarinya sepanjang perjalanan. Akibatnya akan banyak sekali masalah dan tantangan yang akan kita hadapi, selagi kia sedang melakukan perjalanan.
Tidak lupa juga kita sering sekali diperkenalkan pada konteks kepemimpinan pribadi (personal), dan jarang untuk mempelajari konteks kepemimpinan dalam keluarga. Padahal keluarga merupakan pranata sosial dan lingkungan paling dekat bagi perkembangan manusia itu sendiri, termasuk diri kita hari ini. Ada peran sebagai ayah, suami, kakek, ibu, nenek, istri, paman, bibi, anak, kakak dan adik yang mesti kita pahami, namun kita enggan untuk memahami hal tersebut. Kesemuanya itu merupakan tanggung jawab kita pemimpin, khususnya laki-laki dalam membimbing istri dan anak-anak kita dari panasnya Api Neraka nanti. “Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari Api Neraka”, Quran Surat At-Tahrim:6, maupun peran perempuan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, teruntuk semua laki-laki maupun perempuan yang akan menjadi manusia dewasa, persiapkanlah dengan baik sebelum mempraktekannya, supaya tidak bingung dan linglung ketika peran tersebut tersematkan nanti pada diri kita.
Berbicara pemimpin, berarti berbicara mengenai kontribusi. Pernikahan bukanlah ajang untuk meninggikan status diri kita, apalagi menyombongkannya kepada orang lain. Justru sebaliknya, pernikahan merupakan ajang pembuktian untuk lebih semangat berlomba-lomba dalam kebaikan. Berlomba-lomba mengejar keridhoan-Nya, bersama-sama menaatkan diri sebagai upaya menjadi sebaik-baik hamba. Karena pernikahan tidak hanya berbicara akad, melainkan mendiskusikan rencana kontribusi seperti apa yang akan dilakukan secara bersama-sama setelah akad, khususnya yang berkaitan dengan agenda-agenda dakwah bagi keluarga dan masyarakat.
Tidak lupa juga kepemimpinan keluarga biasa dijadikan indikator keberhasilan seseorang dalam memimpin, khususnya sebelum mengambil peran kepemimpinan pada ruang-ruang publik. Memimpin masyarakat dimulai ketika diri kita mampu memimpin keluarga sekaligus mendidik anak-anak kita. Hal tersebut merupakan kata kunci kalau ternyata level kepemimpinan dalam keluarga memainkan peran dan dipandang cukup penting oleh masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai seorang pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri, menaikkan level kepemimpinan dalam keluarga merupakan ajang pembelajaran dan pengalaman yang sangat luar biasa.
Setiap peran akan melahirkan tanggung jawab, dan setiap tanggung jawab akan mendapatkan konsekuensi. Akan tetapi, semuanya itu apabila diniatkan hanya kepada Illahi, balasan surga sudah pasti yang akan dinanti. Maka, teruntuk kamu yang membaca tulisan ini persiapkan lah dengan baik level kepemimpinan keluarga ini. Lelaki yang baik tidak pernah mencari. Perempuan yang baik tidak pernah menanti. Mereka sibuk menjadi. Menjadi baik. Lalu dipertemukan. Dipersatukan.