Krisis Waktu Kehidupan Pasca Kampus

Umumnya, seorang siswa SD dituntut untuk belajar sungguh agar masuk SMP favorit, kemudian SMA favorit, lalu Perguruan Tinggi Favorit, dan muara akhirnya adalah memiliki pekerjaan. Selama proses pendidikan berlangsung, umumnya setiap siswa dituntut untuk menjadi manusia yang juara di setiap mata pelajaran. Bila terdapat nilai yang di bawah standar, tidak jarang sang siswa mendapat omelan guru, orang tua, hingga keluarga besar. Padahal setiap anak dilahirkan dengan kemampuan dan keunikan yang berbeda-beda. Namun, sistem pendidikan yang telah berjalan sejak lama, tidak begitu menitik beratkan pada kelebihan dan potensi anak. Semua dipatok sama. Terlebih lagi pada nilai matematika. Dari fenomena tersebut, tidak sedikit siswa yang stress karena beban akademik. Namun tidak sedikit pula yang bertahan dan mampu melalui ujian di setiap jenjang.

Ritme “manusia juara” rupanya tidak berhenti sampai bangku SMA. Kehidupan perkuliahan tidak jauh berbeda. Bahkan dalam keberjalanannya nilai-nilai keluar pada laporan IPK tidak sedikit yang manipulasi. Berbagai cara untuk mendapat nilai yang tinggi dilakukan, termasuk mencontek. Heuh.. Upaya demikian ditempuh dengan dalih agar IPK sang mahasiswa bagus dan medapatkan pekerjaan yang bagus. Akan tetapi, apakah benar demikian?

Ketika seseorang telah menyelesaikan masa akademik S1 nya, ternyata banyak lulusan yang bingung menentukan arah hidupnya. Ada yang berIPK tinggi tapi kemampuan di lapangan di bawah rata-rata alias tidak sesuai dengan ekspektasi perusaahn saat melakukan perekrutan. Ada pula yang mencari kesempatan kerja sana sini namun dapat di bidang yang levelnya jauh dari kemampuannya. Yang paling sadis adalah menjadi manusia yang memiliki banyak waktu luang alias pengangguran. Namun ada pula yang langsung dapat posisi yang diidam-idamkan sejak lama. Yah.. para alumni perguruan tinggi harus bertarung kembali dengan para ribuan pelamar kerja untuk mendapatkan pekerjaan dan gaji yang layak untuk menjalani kehidupan.

Berangkat sepagi mungkin, pulang seakhir mungkin. Kerja keras, tidak peduli jam istirahat berkurang, juga asupan gizi dan nutrisi berkurang. Hinaan dan cacian menjadi makanan hampir setiap hari. Tekanan tinggi. Patokan target tinggi. Berdesakan di transportasi umum. Stress karena menghabiskan waktu yang lama pada kemacetan. Izin untuk acara keluarga tidak enakan dengan atasan. Bayaran tidak seberapa dengan keringat yang dikeluarkan. Hidup menjadi sendiri. Teman menjadi sedikit.

Karena ritme yang begitu luar biasa, telah membentuk kepribadian manusia baru. Ada yang menjadi lebih kuat, ada pula yang sebaliknya. Perumpamaannya, dulunya seekor harimau, keluar kandang menjadi seekor kucing. Menjadi sendiri. Menjadi bombing. Hal-hal demikian tentu akan dihadapi di hampir seluruh lulusan.

Dengan demikian, pada kondisi tersebut, seyogyanya seorang dewasa mampu memutuskan pilihan. Tinggal tetap menjadi kuat atau mengikuti arus. Tinggal menjadi kaum minoritas, atau mayoritas. Tinggal menjadi manusia yang selalu mengejar uang, atau yang mengatur uang.

Ditulis oleh:

Muhammad Yahya Ayyasy Alhaafizh, PM BA 8 Solo, UNS, True Health Consultant