Konsisten. Nilai itu semakin tergerus dalam pergumulan manusia modern hari ini. Konsisten mempertahankan prinsip menjadi barang langka. Mungkin, mudah dicari di museum-museum berbalut kisah-kisah pejuang masa lalu.
Mungkin kita bisa belajar konsisten dari seorang Ibnu Sirin, satu bintang dari generasi tabiin. Ia, suatu kali dipanggil Umar bin Hubairah, penguasa Irak dari Dinasti Umayyah. Umar adalah sosok pemimpin yang kurang cakap. Beberapa urusan kaum Muslimin ia abaikan.
Datanglah Ibnu Sirin dan keponakannya menghadap sang penguasa. “Bagaimana menurut pendapatmu mengenai kondisi penduduk negeri ini wahai Abu Bakar?” tanya sang penguasa kepada Ibnu Sirin dengan nama kuniyah Abu Bakar.
“Yang aku lihat,” kata Ibnu Sirin, “aku berada di tengah-tengah kezaliman sedang merajalela dan engkau lalai terhadap mereka.”
Mendengar kritikan langsung yang dialamatkan kepada sang penguasa, sang keponakan merasa khawatir. Ia khawatir sang penguasa akan marah dan menghukum Ibnu Sirin. Melihat kegusaran keponakannya, Ibnu Sirin dengan mantap berkata, “Sungguh bukan engkau yang akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya kelak, namun akulah yang akan ditanya. Itulah kesaksianku.”
Keberanian dan konsistensi. Ibnu Sirin mengajarkan kepada kita dua hal yang amat diperlukan bangsa hari ini. Orang-orang amat berani mencuit kritikannya terhadap sesuatu. Namun, berbalut akun-akun palsu tak bernama. Orang-orang berani memukul dan menginjak sesama hanya karena berbeda pendapat. Keberanian yang salah alamat.
Atau, mereka yang tak gentar menyuarakan apa yang mereka yakini. Lantang, lengkap dengan mikrofon yang memekakkan telinga. Bicaranya berapi-api dalam berbagai mimbar. Namun, saat dihadapkan kepada yang dikritiknya, hilang tak berbekas luapannya. Konsistensi menjadi barang yang amat mahal.
Perumpamaan sukses yang paling mudah adalah petani yang berhasil memanen padinya. Ia menanam, merawat, memberi pupuk, membasmi hama, membuang rumput yang tumbuh, mengusir burung-burung, sampai akhirnya berhasil memanen ketika musimnya tiba. Petani yang menanam tanpa merawat tidak bisa memanen. Petani yang memupuk tanpa membasmi hama akan kecewa. Petani yang tidak membuang rumput tidak akan memperoleh hasil. Dan petani yang tidak mengusir burung mungkin hanya akan memanen beberapa bulir padi sebanyak yang disisakan burung-burung.
Orang yang beramal tanpa konsistensi dapat digambarkan sebagai orang yang telah menanam tetapi tidak merawat sehingga amalnya layu, kurus kering, hancur diserang dosa, atau bahkan habis musnah sehingga ketika datang saatnya menghadap Allah, ia kebingungan karena tidak satu bulir pun pahala bisa dipetiknya. Na’uudzubillaahi min dzaalik.
Gambaran penyesalan dari orang yang tidak dapat memetik hasilnya pada hari kiamat dilukiskan dalam Al Quran surat Al Baqarah ayat 266:
Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; Dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang Dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS Al Baqarah 2; 266)