Kita Ini Apa

Saya masih ingat malam setahun lalu itu. Di tepi jalan yang biasa ramai-ramai orang. Sebuah Hik emperan toko. Saya menyeruput teh hangat. Sementara tak sampai selemparan batu, menemani kawan Saya. Dia ini kurang ajar. Kita bersepakat tidak buru-buru pulang.

“Pak, tambah kampulnya satu ya..”

Kita menghitung kendaraan. Ada juga candaan tentang markas Koramil di seberang jalan yang tengah adakan pesta tahun baru. Riuh sekali. Sementara orang-orang duduk di tikar lain. Mereka bergumam. Entah apa. Bisa jadi nasib mereka seperti kami, menghabisi waktu 2018 di perantauan.

“Kamu tahun baruan sama siapa? Ibu sama Abi di rumah thok. Afa pergi sama temen-temennya. Naila tidur”, sapa Ibu via telepon, kisaran 3 menitan kami berbincang. Lalu sudah.

Malam itu kita pulang. Ke kos masing-masing. Saya antar kawan Saya pakai motor, pinjaman. Sementara di ujung sana, kembang api dibakar, terbang, meledak. Saya berbaring di kasur kamar. Sendiri, memejamkan mata. Mencoba tetap terjaga untuk sedikit mendengarkan bunyi petasan.

“Bismika, Allahuma Ahya, wa Bismika Amut”

2020

Tak ada yang berbeda. Bangun seperti bangun-bangun lainnya. Subuh 2 rokaat. Saat demi saat, Saya melaju dimakan rutinitas.

Beberapa agak seru. Bertemu orang-orang baru. Menempati peran baru. Belajar banyak, banyak sekali. Melakukan studi di ruang kelas yang itu-itu saja. Dosen yang beberapa sama. Kuliah yang usang dan jenuh. Tapi di luar itu, nyaris semuanya baru.

Ada kawan-kawan. Juga adik-adik. Sesekali lewat orang yang tiba-tiba terpikirkan, “jangan-jangan dia besok istri Saya”. Tapi cinta gak terlalu penting.

Juga urusan perkiraan hidup. Perkiraan yang kesemuanya meleset secara berengsek. Dan akhirnya menyaksikan kawan teman minum hik akhir tahun kemarin menjadi ketua eksekutif mahasiswa fakultas. Ah, eksekutif.

Sementara Saya di lain tempat.

Lalu tadi malam. Kita berbanyak mencoba menghidupkan tungku arang. Orang-orang baru yang secara sporadis tak pernah terpikirkan. Sama sekali. Menikmati beberapa tusuk daging yang gosong di tepinya. Kepulan asap yang masih membekas baunya di jaket.

Di sebuah desa. Sepi. Tenang

Ini bukan tulisan perayaan. Buat apa? 2018 tak spesial, selain kerjaan yang makin-makin. Tapi tentang waktu, yang merambat melalui jemari kaki, lalu naik hingga ubun-ubun memakan kita.

Persis kata Chairil Anwar, “aku tak tahu apa nasib waktu!”
Dan waktu, sesungguhnya manusia itu kerugian. Kita tak pernah sama sekali bisa tahu, mau seperti apa kita ini.

Ya. Kita ini apa?

07.33.
Afa.
“Mas, jadi pulang hari ini nggak?”