Islam Nusantara

oleh Zorozed

 

Sejak dicanangkan menjadi tema muktama NU ke-33 di Jombang jawa Timur, pada tanggal 15 Agustus 2015 lalu, Islam Nusantara sebagai sebuah ide atau gagasan terus menjadi percakapan public. Percakapan tentangnya begitu riuh. Ada yang menyikapi dari sudut padang linguistic, tetapi teidak jarang yang mempertanyakan dari segi epistemilogis dan metodologis. Intinya gagasan islam nusantara menimbulkan sikap pro dan kontra. Sejumlah artikel dan buku pun ditulis untuk menjelakan gagasan Islam nusantara tersebut.

K.H Aqil siradj menjelaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah sekte atau aliran baru dan tidak bermaksud mengubah doktrin Islam. Menurutnya, Islam Nusantara adalah pemikiran yang berlandaskan sejarah Islam yang masuk ke Indonesia yang tidak melalui peperangan, tetapi melalui kompromi terhadap budaya (Sahal , Ahmad. 2015:15)

Usaha memperkenalkan budaya Islam (atau Islam dan budaya) yang khas Indonesia kepada masyarakat umum, termasuk masyarakat luar negeri, yang sevagian besarnya melalu pariwisata, selain diharapkan mempunyai dampak peningkatan kultural Islam, juga menumbuhkan pengakuan dan penerimaan umum pada taraf internasional, khususnya taraf dunia Islam sendiri, bahwa suatu bentuk budaya islam di negeri kita ini seutuhnya adalah abash, dan tidak dapat dipandang sebagai  “kurang Islami” disbanding dengan budaya Islam di tempat-tempat lain. (Nurcholish Majdid, Islam Agama Kemanusiaan: Membagun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia, cet. Iv (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), hlm. 36.

 

Basis Epitemologis Islam Nusantara

Tatkala membahas epistemology, berarti memperbincangkan teori pengetahuan (yang mencakup dari mana pengetahuan itu muncul dan bagaimana cara pengetahuan itu diperoleh. (Simon Blackburn, The Oxford Dictionary Of Philosophy, edisi bahasa Indonesia, terj. Yudi Santoso. Kamus Filsafat, cet. I (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2013), hlm 286.

Sesungguhnya bukti-bukti menunjukkan bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad adalah seorang tokoh reformasi moral untuk umat manusia dan bahwa disamping keputusan-keputusan yang kadangkala diambilnya untuk maksud tertentu, jarang sekali beliau berpaling atau meninggalkan legislasi umum sebagai suatu cara untuk memajukan islam. Di dalam Al-Quran sendiri, legislasi umum merupakan bagian kecil dari ajaran Islam. Tetapi pernyataan-pernyataan al-Quran yang merupakan umum sangat jelas mengekspresikan sifatnya yang situsional. Misalnya pernyataan perang dan damai diantara kaum muslimin dengan musuh-musuh mereka yabg bersifat situasional-meskipun memang menunjukkan suatu karakter yang umum mengenai sikap ideal kaum muslimin ketika menghadapi musuh dalam peperangan yang besar, namun pernyataan-pernyataan ini demikian situasionalnya sehingga hanya dapat dipandang sebagai quasi hokum, bukan sebagai hokum secara tegas dan jelas. (Fazlur rahman, Islamic Methologhy in history (Pakistan, Islamic research intitute, 1965), hlm. 10)

Nabi Muhammad hingga diakhir hayatnya senantiasa sibuk melakukan perjuangan berat di bidang moral dan politik melawan orang-orang mekkah khususnya dan orang-orang arab umumnya dan mengorganisis negara ummat, hampir tidak ada waktu untuk menetapkan peraturan secara mendetail mengenai kehidupan manusia. Sesungguhnya ummat Muslim pada masa itu tetap melakukan kesibukan mereka seperti biasa dan melakukan transaksi mereka sehari-hari, mereka menyelesaikan masalah-masala bisnis diantara sesame mereka berdarakan akal pikiran adat istiadat yang tetap dibiarkan utuh oleh Nabi setelah memodifikasi- memodifikasi tertentu. (Fazlur Rahman, Islamic Methology In History, hlm. 11)

Adapun perihal bagaimana kehadiran Islam di tanah Arab dalam menghadapi konteks masyarakat dan budaya Arab, telah dilakukan penelitian oleh Ali Sodiqin dalam disertasinya. Ali Sodiqin (Sodiqin, Ali. Antropologi al-Quran, Model Dialetika Wahyu dan Budaya, Yogyakarta: ar-Ruzz Media group, 2008)  memetakkan ada tiga hal, yaitu :

  1. Tahmil (adoptive-complement)

Merupakan sifat apresiatif al-Quran yang diberikan terhadap budaya arab tersebut. Al-Quran hanya menerima dan tidak mengubah substansinya dan memberikan tambahan informasi mengenai moral dan etika yang sebaikanya dilakukan dan tidak bersifat mengikat. Sikap ini ditunjukan dengan adanya ayat-ayat al-Quran yang menerima dan melanjutkan keberadaan tradisi tersebut serta menyempurnakan aturannya. Apresiasi tersebut tercermin dalam ketentuan atau aturan yang bersifat umum, artinya ayat-ayat yang mengatur tidak menyentuh masalah yang paling mendasar dan nuansanya berupa anjuran dan bukan perintah. Termasuk dalam kelompok ini adalah masalah perdagangan dan penghormatan bulan-bulan haram.

  1. Tahrim (Destructive)

Tahrim merupakan penolakan seratus persen yang dilakukan oleh al-Quran terhadap budaya masyarakat yang berkembang. Sikap ini ditunjukkan cdengan adanya pelarangan tradisi yang di maksud al-Quran serta adanya ancaman bagi para pelakunya. Termasuk dalam kategori ini adalah kebiasaan berjudi, minum khamar, praktik riba, dan perbudakan.

  1. Taghyir (adoptive-reconstuctive)

Tahghyir adalah sikap al-Quran yang menerima tradisi arab, tetapi melakukan modifikasinya sedemikian rupa sehingga berubah karakter dasarnya. Al-Quran tetap menggunakan simbol-simbol atau penata social yang ada. Namun keberlakuannya disesuaikan dengan welstanschung ajaran islam sehingga karakter aslinya berubah. Al-Quran mentranformasikan nilai-nilainya kedalam tradisi yang ada dengan cara menambah beberapa kekuatan dalam tradisi tersebut. Di antara adat istiadat Arab yang termasuk dalam kategori ini adalah: pakaian dan aurat perempuan, lembaga perkawinan, anak angkat, hokum waris, dan qishas-diyat.

 

Pengertian dasar Islam Nusantara

Sebagian besar kiyai membahas Islam Nusantara dengan mengurai frase Islam Nusantara itu dari sudut gramatika bahasa arab. Dalam sebuah forum diskusi di arena muktamar NU di Jombang, kiyai Afifuddin Muhajjir menjelaskan bahwa “Islam Nusantara” itu tarkib idhafi. Karena itu Islam Nusantara memiliki tiga kemungkinan makna :

Pertama, Islam Nusantara bermakna Islam yang dipahami dan dipraktekkan kemudian menginternalisasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Kedua, Islam menunjuk pada konteks geografis, yaitu Islam yang berada di kawasan Nusantara. Yang artinya, nusantara bias merujuk pada wilayah Indonesia modern sekarang yaitu Negara dengan gagasan pulau pulau besar dan kecil yang membentang dari Sabang sampai Merauke.

Ketiga, pengertian Islam Nusantara yaitu Islam tampak sebagai subyek dan Nudantara sebagai Obyek. Dengan demikian Islam Nusantara adalah pengejawantahan ajaran Islam kepada maysrakat Nusantara.

Namun yang penting diperhatikan dari pengertian Islam Nusantara adalah kenyataan bahwa penerimaan masyarakat nusantara terhadap Islam tidaklah sama. Ada yang menerima ajaran Islam secara “kaffah” ada juga yang menerimanya secara setengah-setengah. Disebagian maysrakat Islam Nusantara ada keengganan menerima islam secara “kaffah”, jika ajaran Islam itu memberangus tradisi masyarakat yang sudah berjalan ratusan tahun.

Pervbedaan tingkat dan dosis penerimaan penduduk nusantara terhapap ajaran Islam menyebabkan Islam Nusantara pun tidak tunggal. Azyumardi Azra menjelaskan tingkat penerimaan Islam pada suatu bagian atau bagian lainnya tergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya, melainkan juga pada watak budaya local yang dihadapi Islam itu (Azra, Azyumardi, 2002: 17-18 bandingkan dengan Yasqi, M. Isom, 2002: 7). Dari situ lahirlah ekspresi keberislaman yang plural. Ada Islam Jawa, islam sasak, islam Minang, Islam Bugis yang menunjukkan kebhinekaan Islam Nusantara. Perkembangan Islam di Nusantara pun berbeda-beda. Taufik Abdullah mencatat sekurangnya ada empat macam model pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia, yaitu model Aceh, model Minang, model Goa dan model Jawa (Abdullah, Taufik, 1987: 32 bandingkan dengan Wahid, Abdurrahman, 2007: 203)

jika demikian, maka pertanyaan berikutnya adalah apakah Islam yang terjadi di Nusantara itu Islamisasi Nusantara atau Nusantaraisasi Islam ? ini jelas memiliki makna yang berbeda. Sekiranya Islamisasi Nusantara bermakna mengislamkan Nusantara, maka Nusantaraisasi islam bermakna menusantarakan islam, dimana Islam perlu menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan social dan religious di Nusantara. Artinya, nusantara bukanlah suatu entitas yang harus ditaklukkan untuk diselaraskan dengan ajaran Islam, melainkan Islamlah yang perlu menyelaraskan diri dengan kehidupan Nusantara. Jika ditelusuri, semuanya ini terkait dengan pola-pola dakwah periode awak Islam di Nusantara. (Abdul Moqsith, Tafsir islam Nusantara : dari Islamisasi Nusantara hingga Metodologi Islam Nusantara. UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta : 1 November 2016

 

Pro dan Kontra Islam Nusantara

Menanggapi konsep tentang Islam Nusantara, Katua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Ridwan berpendapat, konsep Islam Nusantara sebaikanya tidak perlu dibesar-besarkan. Pasalnya, menurutnya hal itu justru akan mengecilkan Islam itu sendiri . dengan digaungkannya Konsep Islam Nusantara malah akan menghapus jasa Wali Songo dan juru dakwah yang berjasa membawa ajaran Islam masuk ke Indonesia. Pasalnya mereka para wali sudah berhasil menginslamkan Nusantara pada saat itu.

Ada beberapa sebab konsep Islam Nusantara ditolak antara lain :

Pertama, menganggap Islam adalah “pendatang” dari Arab bukan agama “asli” Indonesia. Padahal jika kita telusuri sejarahnya Islam adalah agama yang turun dari langit yang diberikan Allah yang dengan alasannya sendiri, Allah menurunkan pertama kalinya di Negara Arab, takutnya ini akan membuat rasis dan fasis yang dapat melahirkan sifat anti Arab.

Kedua, Islam yang disebut sebagai ‘pendatang’ harus tunduk dan patuh terhadap budaya setempat. Tentu itu akan mebuat Islam seperti agama yang lebih lemah dari kebiasaan, sekalipun agam tersebut berasal dari Yang Maha Asal.

Ketiga, beranggapan bahwa Islam yang ada di Indonesia adalah ‘Islam Arab’ sehingga takutnya budaya di Indonesia terancam. Dan itu seakan-akan mebuat kita boleh tidak melakukan semua tuntunan yang ada didalam Islam.

Keempat, menganggap jilbab bukanlah ajaran Islam, tapi merupakan sebuah budaya, padahal jika kita buka sejarah di zaman jahiliyah sebelum Islam datang, para wanita Arab tidak kenal jilbab karena di sana para wanitanya suka mengumbar aurat. (newbrasyba.blogspot.com 2015/09 : opini : Prokontra Islam Nusantara)

 

Kesimpulan

Islam adalah agama yang bersifat Universal tidak berbatas waktu dan tempat, penerapan Islam Nusantara seolah menggambarkan bahwa Islam disetiap daerah, Negara dan benua memiliki perbedaan dalam penerapannya. Selama Islam Nusantara diartikan sebagai Nusanraisasi Islam maka jelas ini akan menimbulkan perpecahan antara umat Islam itu sendiri seperti yang di jelaskan oleh Azyumardi Azra bahwa penerimaan islam itu bebeda-beda tetapi menjalakan ajaran islam secara kaffah adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim