Privilege. Isu ini kembali jadi trending gegara pelantikan staf khusus presiden Jokowi kemarin. Seperti yang kita tahu, salah satu staf yang dilantik adalah Putri Tanjung, yang notabene merupakan anak dari pengusaha terkenal, Chairul Tanjung. Banyak orang yang menganggap bahwa pencapaian Putri Tanjung menjadi staf khusus presiden di usianya yang baru 23 tahun, tidak lepas dari kenyataan dari garis keturunan yang ia miliki.
Memang apa sih privilege? Berdasarkan Cambridge Dictionary, privilege memiliki arti keuntungan yang hanya dimiliki seseorang atau sebagian kelompok, biasanya karena posisi atau kekayaan mereka. Seperti apa bentuk privilege? Ya macam – macam. Sekolah ke luar negri tanpa mikir biaya, itu privilege. Lulus kerja langsung dimodalin buat usaha, itu privilege. Punya tempat nyaman buat tidur malam hari ini, itu privilege.
Privilege itu nyata. Saya bisa menjadi saya yang sekarang juga tidak terlepas dari privilege yang saya miliki. Kalau saya tidak memiliki akses pendidikan hingga jenjang sarjana, saya mungkin tidak bisa mendapat pekerjaan yang saya punya. Kalau orang tua tidak mampu membiayai kuliah saya, ya saya bisa jadi pontang – panting cari uang tambahan untuk melunasi uang kuliah –yang pasti akan berdampak terhadap performa saya di akademis. Kalau saya harus mikir buat biaya makan atau besok mau tidur di mana, boro – boro saya mengejar mimpi dan cita – cita.
See, saya tahu bahwa keberhasilan dan pencapaian saya dalam hidup, bukan hanya karena kerja keras saya, melainkan ada hak – hak istimewa yang saya dapatkan secara cuma – cuma –yang tidak ada hubungannya dengan apa yang telah saya perbuat.
Privilege yang dimiliki orang berbeda – beda bentuk dan tingkat levelnya. Saat kita melihat orang – orang dengan tingkat privilege di atas kita, ya wajar saja untuk kita merasa iri. Saya sendiri terkadang masih suka berkhayal kalau orang tua saya se-tajir itu, mungkin saya bisa kuliah ke luar negri seperti Maudy Ayunda tanpa repot – repot ikut pendaftaran beasiswa. Masih bisa hidup layak pula! Tapi toh iri juga tidak membawa kita kemana – mana, tidak bakal mengubah apa – apa juga. Jadi, daripada energi kita habiskan buat iri, akan lebih baik kalau diarahkan untuk fokus ke tujuan pribadi saja. Tujuan hari ini, tujuan buat besok. Saya suka menghibur diri, bahwa setidaknya saya sudah melakukan yang terbaik yang saya mampu untuk menjalani hidup yang saya punya.
Saya berpikir bahwa setiap orang punya benchmark masing – masing. Dengan modal yang dia punya, seharusnya dia bisa meraih tingkat atau hasil yang seberapa. Bisa jadi seseorang (A) terlihat sudah sukses bagi orang lain (B), karena benchmark B lebih rendah dari A. Seharusnya dengan modal yang A miliki, dia bisa meraih lebih dari itu. Benchmark ini yang sangat absurd dan abstrak untuk dilihat dan diukur dalam hidup. Orang – orang terkadang lebih suka mengartikannya dalam bentuk uang dan materi. Tapi untuk ketenangan hidup, alangkah baiknya untuk kita fokus ke benchmark kita, ke hidup kita, tanpa membanding – bandingkan dengan orang lain.
Mengerti bahwa privilege itu ada dan sebagian dari kita memilikinya, membuat kita seharusnya mau mengakui bahwa sebuah kesuksesan –apapun definisi dan bentuknya, bukan hanya dibangun dengan keringat dan air mata kita, namun juga ada faktor ‘untung’ dan hak cuma – cuma. Dengan begitu, akan membuat kita semakin bijak untuk tidak meremehkan atau merendahkan orang lain yang menurut kita (manusia yang suka khilaf untuk sombong) tidak sesukses kita.