Filosofi Pohon dan Regenerasi Kepemimpinan

Oleh: Fifi Muslimah

Entah sejak kapan, saya selalu terhipnotis dengan kata “peradaban”. Suatu kata yang bagi saya menyimpan magis kasat mata nan visioner, sebuah kondisi ideal bagi para pemimpi dan pemimpin dalam tatanan yang beradab, kondusif dan harmonis bagi kehidupan makhluk hidup terkhusus manusia. Membangun peradaban bukan sebatas tugas pendiri bangsa, sedangkan kita yang notabene telah menjadi generasi ‘sekian’ hanya tinggal menikmatinya saja. Mewarisi peradaban pula bukan hanya tugas arsitek, mentang-mentang bicara tentang rancang bangun. Peradaban disusun dari semua komponen bangsa. Darat-laut, kering-basah, makhluk hidup-benda mati, kulit hitam-putih, mata sipit-belok, semuanya punya peran bangunkan peradaban, atau setidaknya mempertahankan peradaban yang ada. Jadi, peradaban masa depan dirancang dan dibangun oleh siapa? Jangan, jangan kecilkan suaramu. Apalagi suara hatimu. Teriakkan dengan lantang, oleh siapa? Kita.

Regenerasi dan peradaban erat kaitannya. Tolong sebutkan, apa yang membekas pada benak ketika kita berkaca pada peristiwa-peristiwa penting di masa lalu dalam kaitannya dengan peradaban? Pemikiran. Sederhana sekali. Remeh mungkin terdengar. Warisan tak terlihat tapi mendarah daging dan dampaknya luas serta berhasil merubah banyak tatanan. Mungkin, jika pada zaman dahulu, tak ada cendikiawan bangsa yang menulis buku di dinginnya penjara, tak ada organisasi-organisasi pergerakan yang menaungi luapan keresahan meski harus siap dibubarkan setiap saat, serta tak ada upaya pewarisan nilai lewat bangku-bangku bernama sekolah, atau mungkin pemudanya tak mampu wariskan pemikiran merdeka bahwa penguasa pun perlu disadarkan jika tak memihak pada rakyatnya, bisa jadi bangsa ini  bukanlah bangsa yang kita kenal sekarang. Bisa jadi masih sebagian besar anak bangsa kita buta huruf, tak berdaya, tak sama sekali mengenal kebebasan memutuskan apa yang menjadi kedaulatannya. Bisa jadi kan?

Keresahan patut ditularkan. Keresahan perlu disampaikan. Namun seperti kata Ridwan Kamil, ketika ia masih menjadi walikota Bandung, “Kita butuh pemuda pencari solusi, bukan pencaci maki”. Sederhana ya. Ya, mungkin resah itu menjadi hal yang dilakukan oleh hampir semua orang, namun penemuan solusi, tentunya tak bisa semua orang. Hanya orang-orang yang benar peduli yang mampu berpikir kritis dan solutif atas berbagai keresahan yang segera butuhkan jawaban.

Semakin bertambah usia kita makin memahami bahwa jenis manusia yang bermanfaat bagi terwujudnya peradaban dunia tak hanya sebatas dokter, polisi, guru atau pemain sepak bola seperti halnya yang disebutkan anak-anak sekolah dasar jaman kita muda, namun saat ini ruang kontribusi semakin meluas. Bahkan yang dulunya komik fungsinya hanya sebagai media hiburan, namun sekarang ini komik juga menjadi bahan edukasi yang baik bagi anak jika didesain dengan pendidikan karakter nan bermanfaat.

Semakin berkembangnya teknologi juga semakin banyak ruang intelegensi yang dapat diisi oleh para cendikiawan lintas bidang, tulisan-tulisan sarat manfaat baik dari kesehatan, teknik, hingga keluarga dapat tersebar ke seluruh dunia. Contoh lainnya lagi, penanganan bencana saat ini tak hanya secara fisik adanya, namun musibah yang melukai nurani kemanusiaan ini juga membutuhkan banyak sekali bantuan dari aspek psikologis yang tentunya membutuhkan kontribusi dari orang-orang yang peka sosialnya tinggi. Lantas dari semua hal di atas, bagaimanakah langkah yang baik yang ditempuh seseorang yang terketuk hatinya untuk mengabdi namun ingin dampak yang lebih luas dan terinternalisasi? Regenerasi!

Proses regenerasi dengan membina adik asuh sederhana dapat kita sebut sebagai upaya penerusan nilai dan transfer ilmu, tak hanya ilmu pengetahuan namun juga spiritual dan ilmu tentang hikmah kehidupan. Tingkatan lain dari membina adik asuh tidak hanya terbatas ilmu saja, karena hubungan adik asuh-mentor sudah selayaknya bukan hanya sebatas hubungan guru dengan murid. Ketika ilmu telah selesai disampaikan, tuntas pula apa yang harus dilakukan, tentu tidak sesederhana itu. Memanajemen adik asuh itu layaknya menjadi orang tua, boleh jadi saat awal kita mengajari anak berjalan, namun seiring dengan berjalannya waktu ketika anak sudah dapat berjalan, kita akan membiarkan ia menjelajah dunia yang ia inginkan sembari mengingatkan, “kamu jangan lupa istirahat ya, nak”, “jangan lupa makan”, atau imbauan hati-hati agar tidak salah pilih “jalan”.

Kegiatan membina adik asuh juga merupakan rentetan peristiwa berjenjang. Seideal apapun kondisi yang kita miliki saat mengasuh orang lain, kita hendaknya tetap selalu berusaha untuk membuat adik asuh menjadi diri mereka sendiri bukan hanya malah menjadi penjiplak ataupun pengikut setia langkah-langkah kita. Hal ini tentu bukan sebuah larangan, namun menjadi sebaik-baik percaya dalam kemampuan dan potensi diri sendiri dengan segala keunikan dan karakteristik spesial tentu akan jauh lebih baik. Pemikiran semacam inilah yang perlu dibangun dalam diri adik asuh. Sebuah pola  pikir “Setiap orang miliki potensinya masing-masing. Setiap orang tak sama, siapapun berhak untuk berkarya”. Karena, setiap orang memiliki latar belakang  yang berbeda, mendapatkan pola pengasuhan yang tak sama dan tentunya impian yang beraneka ragamnya. Mimpi-mimpi yang mereka miliki inilah yang hendaknya menjadi guideline bagi kakak asuh untuk mengarahkan dan membimbing, agar mereka semakin dekat dan bersemangat terhadap mimpinya.

Tujuan lain yang perlu direnungi bersama dalam membina adik asuh adalah bentuk upaya menjadikan adik asuh miliki kondisi yang lebih hebat dari yang mengasuh. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai “transfer obat luka”, sebagai sosok yang terlahir lebih dahulu ke dunia kita tentunya akan menjajaki kehidupan lebih awal, berikut asam garamnya. Dalam konteks pembinaan adik asuh kita tentu tidak menghendaki adik asuh kita akan memasuki “jurang gelap” yang sama. Kita akan membuatnya menghindari celah-celah kerugian dengan berbagai bentuk pertimbangan yang tentunya sesuai dengan jati dirinya. Kita tentu menginginkan adik asuh kita belajar dari berbagai kesalahan dan kegagalan kita masa lalu, ya, cukup hanya kita saja yang demikian misal, mereka tidak.

Diantara beberapa hal yang telah disampaikan sebelumnya, ada bagian yang kita sebut sebagai proses, kita sebagai mentor hendaknya dapat menjadi partner terbaik dalam perjalanannya mencari jati diri. Semua hal ini dimulai dari komitmen dan keberanian kita untuk dapat memproyeksikan dan beritikad “adikku harus jauh lebih baik daripada aku”. Memiliki adik asuh juga bukan sebuah ajang untuk menambah “followers” baik akun media sosial maupun di tindak tanduk dunia nyata, Namun, tak lain tak bukan adalah sebagai bentuk aktualisasi diri bahwa kita adalah aktivis sejati yang tak berhenti bergerak untuk kebermanfaatan. Mungkin raga bisa dimakan tanah, namun pemikiran dan nilai yang diwariskan terus menerus tetap kekal, hal ini awam kita dengar sebagai amal jariyah melalui ilmu yang bermanfaat.

Saya tiba-tiba teringat suatu intisati dalam buku “5 Level Kepemimpinan” karya John C Maxwell, pemimpin level tertinggi atau level 5 harus mampu tak hanya menjadi sebaik-baik pemimpin dan pengaruh, namun juga harus mampu mewariskan nilai-nilai yang ia miliki, serta meregenerasi pemimpin selanjutnya agar mampu minimal memiliki kompetensi seperti dirinya, lalu pemimpin itu mampu membuat orang-orang lainnya berkemampuan untuk memimpin pula. Sungguh, ini sebuah butterfly effect yang jika memang dibudayakan secara terus menerus, akan sangat baik bagi perbaikan bangsa kedepan. Terlebih kita telah sama-sama mengetahui bahwa bangsa ini butuh lebih banyak pemimpin yang tak hanya memimpin karena miliki kuasa, tapi juga miliki semangat juang serta moral untuk perbaikan sesame.

Tentunya, ada suatu masa, ketika miliki adik asuh, kita mesti berani mengosongkan ruang-ruang hati ketika ternyata adik asuh kita miliki kualitas diri yang lebih baik daripada kita dalam beberapa hal. Membuka diri dan mengakui kekurangan adalah jawaban yang tepat. Tak ada satupun manusia yang sempurna. Proses mentoring dan pengasuhan ini adalah rangkaian proses belajar dan mengajar yang bersifat timbal balik. Kita harus memahami bahwa tak selamanya yang mengasuh lebih baik daripada yang diasuh, berlaku sebaliknya.

Pada dasarnya, adik asuh kita bisa jadi tidak terlalu membutuhkan orang yang hebat, mereka membutuhkan orang yang memberikan mereka kesempatan untuk percaya dengan diri mereka sendiri. Secara teknis, proses pengembangan diri atau yang kita kenal dalam buku ini sebagai manajemen adik asuh dimulai dari fase kenalan baik data diri maupun karakter mereka secara tak kasat mata bahkan kesehariannya, beri mereka kesempatan untuk speak up dan mengungkapkan apa yang mereka butuhkan dan ingin untuk dicapai serta meyakinkan mereka bahwa sesulit apapun kondisi yang mereka hadapi, mereka perlu untuk memahami bahwa mereka jauh lebih besar dari masalah yang mereka miliki.

Kegiatan mengasuh itu juga dapat kita ibaratkan seperti filosofi tanaman, kita akan merasakan energy yang besar serta semangat dalam menanam, memupuk, menyiangi gulma, lalu memanen ataupun kalaupun tidak kita lansung panen, kita biarkan buah dari pohon yang kita tanam itu ranum buahnya di dahan-dahan, hanya dengan melihatnya saja tanpa mencicipi pun kita akan senang dan lega, tanaman kita tumbuh dengan baik.

Tak ada gading yang tak retak, tentunya, layaknya kegiatan atau aktivitas lainnya, kegiatan membina itu terkadang membosankan, apalagi jika aktivitasnya hanya itu itu saja. Besok melingkar, lagi. Kemarin juga udah! Mungkin begitu yang dipikirkan adik-adik kita jika upaya mengasuh adik-adik ini tidak dibarengi dengan inovasi dan kreatifitas. Sebagai mentor kita perlu paham, bahwa upaya transfer ilmu dapat kita lakukan dimana saja, tak harus di koridor fakultas, selasar masjid atau warung makan belakang kampus.

Segala hal yang baru dapat diupayakan seperti merujak bersama, belajar merajut, masak bareng, main futsal bareng, nanjak gunung, dan lainnya. Apapun dapat dilakukan bersama-sama selama itu hal yang bermanfaat dan mengandung hikmah. Ini penting untuk diingat, tertautnya hati adik asuh kepada kita tak hanya pada ilmu dan nilai yang kita sampaikan, namun juga pada tahap kedekatan dan kenyamanan. Jika apa yang kita sebut sebagai “ukhuwah” ini sudah kuat mengakar, hubungan adik-kakak asuh akan semakin kuat dan hal ini sangat baik dalam proses regenerasi kepemimpinan. Namun perlu digarisbawahi, kakak asuh juga perlu untuk membuat jadwal atau kurikulum yang jelas terkait hal ini, jangan sampai hanya karena aktivitas luar jauh lebih menyenangkan, kakak asuh lupa untuk memberikan materi-materi atau transfer ilmu yang bermanfaat bagi adik asuhnya.

Namun, dari semua hal dalam membina hubungan bersama adik asuh ini, kita harus memahami bahwa semua yang sedang dijalani adalah proses dan diatas semua itu ada Allah Yang Maha Menyepakati Proses. Kedekatan dari kakak asuh kepadaNya menjadi hal penting, karena hubungan manusia kepada Tuhan memengaruhi hubungan manusia tersebut dengan manusia yang lainnya.

Bagi saya, mengasuh itu ungkapan cinta. Ungkapkanlah bukti cinta terbaik kita bagi siapa saja yang pantas menerimanya.