Dilema Konflik: Hambatan atau Kesempatan Mencapai Tujuan

Konflik identik dengan sebuah situasi maupun kondisi yang tidak kondusif. Adanya situasi dan kondisi ketika terjadinya konflik lantas dipersepsikan sebagai suatu hal yang cenderung negatif. Hal tersebut dianggap sebagai mainstream yang terjadi pada aktivitas di lingkungan sosial-masyarakat. Aktivitas mainstream yang membudaya tentu berakibat pada terciptanya iklim yang cenderung menemui stagnancy dan conservative. Tidak jarang dua dampak tersebut memperlambat penerapan perubahan. Begitu halnya dengan konflik, maka perlu manajemen yang tepat untuk mengelola situasi dan kondisi tersebut. Hal ini ditujukan agar didapat situasi dan kondisi ideal yang ingin dicapai. Kondisi ideal ini tentu menuntut adanya perubahan dan iklim yang progresif. Lantas, bagaimana sebuah konflik kemudian dapat ditransformasikan? Jawabanya hanyalah dua, yakni sebagai hambatan atau kesempatan mencapai tujuan.

 

“There are three principles in a man’s being and life: The principle of thought, the principle of speech, and the principle of action. The origin of all conflict between me and my fellow-men is that I do not say what I mean and I don’t do what I say.”

Martin Buber, Filsuf Jerman

 

Bisa dipastikan bahwa dalam aktivitas sosial bermasyarakat, utamanya dalam organisasi, setiap hal dikerjakan secara bersama-sama. Alhasil kondisi demikian tentu membutuhkan sebuah kerja tim. Namun dalam dinamikanya, tentu akan timbul konflik yang harus dihadapi. Adanya perbedaan pendapat sebagai dinamika merupakan hal yang lumrah, bahkan dapat menghasilkan penyelesaian konflik yang variatif. Di lain pihak, bila silang pendapat terjadi dalam kurun waktu yang lama dengan pihak yang sama, maka bisa dipastikan bahwa iklim yang terbangun akan didominasi oleh konflik. Munculnya konflik berkepanjangan tentu akan berdampak menyeluruh yang hanya akan menambah proses pengembangan diri dan tim menjadi terhambat. Selain produktivitas yang terhambat, persoalan lain yang didapat karena konflik berkepanjangan berujung pada menurunnya profesionalisme.

Pada tahapan dan situasi ketika melalui konflik inilah yang kemudian tidak setiap pihak memiliki kemampuan dalam mengambil kesempatan yang dimaksud. Alih-alih frustasi dan menyerah, para pengambil kesempatan ini memilih mulai membangun kepercayaan melalui konflik. Setidaknya terdapat lima cara dalam kaitannya membangun kepercayaan melalui konflik menurut Dale Carnegie. Pertama, adaptasi yang mana menghilangkan sifat prasangka, ketidaksukaan, maupun tidak fleksibel atas suatu hal. Kedua, menjaga hubungan yang mana membuat suasana untuk bersahabat, kooperatif, dan kolaboratif di lingkungan sosial bermasyarakat. Ketiga, menemukan nilai-nilai bersama. Keempat, merespon apa yang kita dengar dengan menujukan niat baik dalam mencari penyelesaian konflik yang dapat mengakomodasi kebutuhan masing-masing pihak. Kelima, Go Ahead and Never Quit.

Lebih lajut, pola pikir merupakan langkah pertama dalam menghadapi dilema konflik. Seseorang yang terpapar pesan-pesan baik berakibat pada segala ucapan dan tindakan yang positif, maka begitu pun sebaliknya. Sebagaimana uraian mengenai konflik sebelumnya, maka menunda tidak selalu berkaitan dengan mengesampingkan kegiatan, namun mengelola sebuah konflik tersebut. Oleh karenanya, terdapat metode yang dapat dilakukan ketika menemui situasi konflik. Pertama, memilih dan memilah sebuah permasalahan yang paling berdampak bilamana perlu adanya perubahan. Kedua, menunda penyelesaian permaslahan guna menghadapi pertempuran yang lebih penting. Meski konflik merupakan situasi dua arah namun kendali terbesar berada pada diri sendiri untuk memiliki kehendak dalam upaya penyelesaian konflik tersebut.

Tercapainya penyelesaian konflik secara win-win solution merupakan kondisi ideal sekaligus menjadi kehendak dari pihak-pihak yang terlibat. Namun dalam prosesnya, diperlukan kompromi diantara pihak-pihak tersebut untuk mencapai perubahan. Hal yang kemudian menjadi penting adalah pasca konflik tersebut selesai. Ketika suatu konflik telah selesai, maka tugas berikutnya adalah menjaga relasi positif agar terus terjalin. Perlu dipahami bahwa dalam sebuah konflik bukan soal menang-kalah. Kondisi ini banyak dipahami bahwa meski pertarungan telah berakhir, namun tidak jarang perang tidak kunjung berkesudahan. Oleh karena itu, disinilah pentingnya menempatkan empati dalam relasi tersebut agar rasa saling menghormati dapat terwujud. Setiap empati yang diberikan turut serta memberi dampak pada kesan yang ditinggalkan kepada lawan interaksi.