Desa Krampon Pada Masa Kolonial Belanda

Desa Krampon merupakan daerah terpilih pemerintah Belanda dengan dibangun pabrik garam. Pabrik garam garam Krampon memberikan pengaruh signifikan terhadap dinamika sosial ekonomi desa. Pemerintah memulai membangun pabrik garam Krampon pada tahun 1903. Sebelumnya telah dibangun pabrik garam Kalianget di Sumenep tahun 1899 sebagai pabrik percontohan dan paling besar. Selain dua pabrik itu, pemerintah juga membangun pabrik garam Mangoenan di Pamekasan pada tahun 1904, namun pabrik tersebut tidak beroperasi karena kurangnya mesin, dan untuk mengurangi biaya produksi sehingga mengoptimalkan dua pabrik yang ada.

Produksi awal perkembangannya tidak memenuhi target sebagaimana mestinya yang seharusnya mendapatkan 50.000 koyang pertahun dari setiap pabrik. Pabrik Krampon pada tahun 1905 hanya menghasilkan 17000 koyang. Meskipun demikian, produksi garam briket dari pabrik Krampon dan Kalianget masih dapat memenuhi kebutuhan garam dalam negeri Hindia-Belanda. Bahkan pada tahun 1928 sampai masa berakhirnya pemerintah kolonial Belanda dilakukan beberapa kali pengiriman garam ekspor keluar negeri diantaranya ke Jepang dan Singapur. Beberapa kali isu penutupan dan pembubaran pabrik disuarakan oleh pengamat dan ahli dari pemerintah untuk mengurangi beban negara. Namun faktanya, justru keuntungan besar didapat oleh pemerintah dengan beberapa kebijakannya untuk mengelola garam di Madura. Pada tahun 1926 pemerintah mendapatkan keuntungan 9 juta gulden, bahkan dari tahun 1916 sampai tahun 1936 pemerintah mendapatkan keuntungan 10 miliar gulden.

Bagi Desa Krampon, dengan adanya pabrik garam memberikan keuntungan meskipun hanya sebagian saja. Setidaknya masyarakat Krampon dapat menjadi pegawai pabrik meskipun gajinya tidak begitu besar, namun cukup memberikan pendapatan pasti daripada bercocok tanam pertanian yang bergantung pada musim. Padahal pemerintah mendapatkan keuntungan lebih besar lagi dari apa yang masyarakat dapatkan. Pembangunan fasilitas yang cukup mewah disekitar pabrik seperti taman alun-alun, lapangan sepak bola dan tenis, serta layanan rumah sakit terbatas hanya untuk masyarakat Eropa sahaja dan orang pribumi tertentu. Mayoritas orang pribumi menjadi buruh kasar, dengan pekerjaan yang padat, pabrik garam Krampon menerapkan sistem pekerjaan tiga sif per delapan jam. Satu sif bekerja hanya mendapatkan 13 sampai 14 sen, dan bahkan dari mereka rela untuk bekerja full 24 jam untuk mendapatkan 40 sen ketika ada kebutuhan.

Pada tahun 1936 pemerintah melakukan upaya pembelian ladang garam. Kebijakan tersebut dikecam beberapa pihak yang menganggap “perampasan hak milik”. Namun proses pembelian ladang garam di Sampang berhasil. Pemerintah tidak mendapatkan tantangan berarti ketika membeli ladang-ladang petani garam. Pemerintah menganggap agenda tersebut merupakan ikhtiar penyelamatan produsen garam dari lintah darat yang mencekik ketika meminjam modal, sebagian yang menolak agenda pembelian tanah garam yang dianggap telah merampas tanah rakyat. Bagi rakyat pembelian ladang garam diartikan bahwa pemerintah hanya menyewa kepada rakyat selama 50 tahun, bukan membeli dan memilikinya secara permanen. Miss pemahaman akan hal tersebut akan memicu masalah agraria pada masa kemerdekaan antara PN. Garam dengan rakyat. Pada masa pendudukan Jepang pendapatan produksi garam tidak terlalu signifikan, namun produksi dipabrik masih berjalan. Jepang memotong gaji pegawai dengan tujuan untuk membantu perang suci melawan sekutu. Bahkan pada masa ini merupakan emberio kemerosotan produksi garam.

Ketika Indonesia merdeka pabrik garam diambil alih pemerintah. PN. Garam nama perusahaan garam pemerintah yang menguasai pabrik garam Krampon dan Kalianget. PN. Garam tetap melakukan monopoli garam dan menganggap ladang-ladang garam yang dimiliki merupakan milik pemerintah. Pada masa krisis itu terjadi penolakan bagi masyarakat terhadap monopoli dan ada upaya untuk mengambil kembali tanah-tanah yang dulunya dikuasai Belanda. Namun bagi pemerintah saat masa revolusi perlu untuk dikuasai supaya pendapatannya dapat masuk kas negara. Kondisi PN. Garam baik di Krampon maupun di Sumenep menghadapi demonstrasi dan upaya masyarakat pengambilan kembali ladang-ladang  yang dianggap miliknya. Konflik tersebut mempengaruhi kinerja PN. Garam yang berangsur-angsur mengalami kemunduran.

Pada tahun 1957 pemerintah dengan keputusan presiden menetapkan untuk menghapus monopoli. Dasar pemerintah adalah karena stok nasional tidak terpenuhi, sehingga perlu adanya peran masyarakat swasta untuk memenuhi kebutuhan nasional. Kebijakan tersebut melahirkan banyak produsen garam yang menambah persaingan PN. Garam. Dalam tubuh internal PN. Garam terdapat masalah, baik menejemen, sehingga pelan-pelan mengalami kebangkrutan. Tahun 1969 PN. Garam melakukan rasionalisasi sekita 6.551 orang, disusul pada tahun 1972 kembali melakukan rasionalisasi sekitar 2.599 orang. Pada tahun tersebut pabrik garam Krampon berhenti karena bangkrut serta praktis PN. Garam hanya ada di Kalianget saja untuk di Madura.

Secara berangsur-angsur aset di Krampon dijual dan beberapa dihancurkan oleh PN. Garam Krampon. Banyak masyarakat di Krampon yang kehilangan bekerjaan. Sebagian mereka ada yang merantau keluar daerah bahkan keluar negeri. Sebagian yang lain bekerja sebagai pengusaha, wiraswasta, dan petani. Kondisi Krampon setelah berhentinya pabrik garam tak ubahnya sama dengan daerah lain yang tidak lagi menjadi daerah dengan aktivitas ekonomi yang memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya.