Tidak pernah terbesit sebelumnya, bahwa les IELTS di Pare, Kabupaten Kediri akan menjadi salah satu momen penting dalam proses pembelajaran hidup. Awalnya saya pikir, saya hanya akan belajar bagaimana cara mendapatkan nilai IELTS yang cukup untuk mendaftarkan diri pada kampus tujuan tanpa harus berinteraksi dengan banyak orang. Hal ini sehubungan dengan kondisi pandemi, saya rasa tidak akan ada banyak orang yang akan les dan semangat mengejar beasiswa. Saya merasa sudah well planned, well prepared and well executed. Akan tetapi, seluruh ekspektasi saya ternyata terbantahkan oleh kenyataan yang ada. Setidaknya ada 3 pembelajaran yang dapat saya ceritakan dari les IELTS selain English itu sendiri.
Perjalanan ini bermula di awal Januari, ketika saya sadar bahwa saya terlalu malas dan tidak tau apa-apa terkait IELTS. Sedangkan, saya sangat bersikeras ingin mengejar impian untuk menempuh studi di luar negeri. Setelah banyak mempertimbangkan berbagai hal, saya akhirnya membayar biaya les selama 1 bulan di bulan Februari dengan menggunakan tabungan saya seadanya. Dalam benak saya, cukuplah 1 bulan saya dapat menguasai cara mengerjakan IELTS dengan baik mengingat saya tidak terlalu awam dengan bahasa Inggris. Namun setelah saya melakukan placement test, saya terkejut dengan hasil tes saya yang lebih rendah dari perkiraan saya. Akhirnya setelah sampai di asrama, saya berkenalan dan bertanya dengan kawan-kawan lainnya. Ternyata ada puluhan orang yang mengambil program yang sama dengan saya, bahkan rata-rata mereka telah les di Pare mulai dari 1 hingga 4 bulan lamanya. Mereka pun mengakui, pada awalnya juga memperoleh hasil yang kurang memuaskan di awal ketika memulai program IELTS ini. Namun seiring berjalannya waktu, maka nilai mereka juga naik. Saya membatin, “Iya naik sih, tapi aku cuma punya waktu 1 bulan. Aku mau cepat, aku mau instan”. Pada akhirnya, selama sebulan saya hanya dapat yakin dengan aspek reading dan listening. Sehebat apapun bakat kita sebagai manusia, ada proses yang dibutuhkan dan tentu sungguh itu semua atas izin Allah kita dapat menguasai atau mengerjakan suatu hal.
Selain nilai tes yang tidak bisa langsung bagus, saya juga kagum dengan member di asrama saya, salah satunya Riswan, PM Youlead 1 Palembang dari Universitas Sriwijaya. Atas kehendak Allah, saya dapat bertemu dengan PM Youlead di tempat les ini. Saya pun banyak bertanya kepada Riswan dan berakhir pada kondisi speechless. Betapa jauh lebih terencananya ia dalam merencanakan studi lanjutnya. Sebelum menginjak tahun keempat, Riswan telah mengikuti berbagai kompetisi dan menabung hadiah yang ia peroleh untuk membiayai dirinya mengikuti les IELTS intensif, official IELTS dan tentu saja biaya transportasi dari Palembang ke Kediri (tempat les) serta Surabaya (tempat tes). Ia tidak mau memberatkan orang tuanya sekalipun. Tekadnya untuk studi di luar negeri terlihat dari usahanya untuk mengikuti les IELTS sembari menyelesaikan skripsinya. Lebih menakjubkannya, jika tidak ada pandemi Covid-19, ia merencanakan les pada liburan semester 6 ke 7 (sekitar Juni-Agustus), jauh lebih awal dibandingkan saat ini (Januari-Maret). Ia juga sudah memesan tempat untuk official IELTS di awal April, yang berarti kelengkapan seperti paspor telah ia selesaikan. Tak berhenti sampai persiapan IELTS, ia telah membuat skenario kampus dan beasiswa mulai dari dalam dan luar negeri berdasarkan dari nilai IELTS yang akan ia peroleh. Ia sangat rinci dan rapi dalam merencakan life plan miliknya dalam hal pendidikan. Selain Riswan, ada pula Mas Mas lainnya (yang lebih tua dari saya bahkan ada yang berumur 32 tahun, tetapi beliau masih ingin melanjutkan studinya) yang meninggalkan pekerjaannya untuk les IELTS dan mengejar impiannya untuk melanjutkan studi mereka. Ada pula kawan-kawan yang jauh lebih muda dari saya (baru lulus SMA di 2020, bahkan ada yang baru mau lulus SMA di 2021 ini), sudah mempersiapkan IELTS untuk studinya. Saya terhenyak, menyadari bahwa saya telah merasa sudah baik dalam merencanakan suatu hal, padahal banyak pula yang lebih mati-matian dalam menyiapkan berbagai hal untuk mencapai suatu target. Kita hanya bisa berikhtiar dan menyerahkan hasilnya kepada Allah, tidak perlu membandingkan ikhtiar kita dengan ikhtiar orang lain sebagai justifikasi atas ikhtiar kita. Prioritas dan visi misi setiap orang tentu berbeda. Saingan terberat kita dalam memperoleh skor IELTS bukanlah orang lain, tetapi diri kita sendiri.

Pembelajaran ketiga ini merupakan pembelajaran paling lucu, memalukan dan berkesan. Bagaimana tidak, saya yang merupakan member dalam program les IELTS malah ‘ngelunjak‘ alias menentang tutor sendiri. Hal ini bermula dari kebijakan tutor dalam kelompok belajar tambahan, meminta kelompok saya dan teman-teman sekelompok saya mengerjakan berbagai hal seperti merekam suara percakapan diri kita sendiri dalam bahasa Inggris, mendengarkan UK Radio dan menonton TEDxTalks serta merangkum dan menceritakannya kembali dalam bahasa Inggris, semua hal tersebut rutin tiap hari. Hal tersebut merupakan foundation alias dasar dalam meningkatkan kemampuan bahasa Inggris, saya mengerti hal tersebut, tetapi saya ingin mengejar ketertinggalan saya dalam mengerjakan IELTS sehubungan dengan waktu les saya yang hanya satu bulan. Setelah beberapa kali bernegosiasi dengan tutor untuk mengurangi dan mengganti tugas, hasilnya tawaran saya ditolak. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak mengikuti kelas tambahan tersebut karena teman-teman saya merasa risih dengan sikap saya terhadap tutor, saya takut membuat suasana belajar yang tidak nyaman di kelas. Hal yang mengejutkan terjadi di akhir periode les, sehari sebelum saya pulang ke Surabaya. Kelompok kami mengadakan farewell party dan saya memutuskan untuk ikut dan meminta maaf kepada tutor dan kawan-kawan sekelompok saya atas sikap saya yang pongah. Saat saya mengungkapkan segala unek-unek yang ada dalam pikiran saya, termasuk saya bilang saya dan dia memiliki kesamaan, sama-sama tipe ‘Dominant’ dan ‘Fundamentalist’. Jadi, kami akan sulit berjalan bersama, tetapi sebenarnya saya mengerti dia dan pada akhirnya memilih menepi demi menghindari konflik. Tutor saya pun mengiyakan tentang tipe kami dan pada akhirnya juga mengerti keputusan saya untuk tidak masuk kelas. Dia bahkan bercerita, dulu Ia sempat kesulitan dalam bersosialisasi dengan orang lain sebab Ia memiliki gangguan pendengaran (hal ini mengejutkan saya), saat dirinya menjadi siswa di tempat les. Kemudian, Ia belajar dan terus berusaha untuk menyesuaikan diri hingga sekarang Ia menjadi salah satu tutor yang disenangi oleh member. Saya seperti dinasihati agar tidak melakukan kesalahan yang sama sepertinya dengan cara yang sama sekali tidak menggurui atau bahkan menyakiti perasaan saya. Saya tenggelam, iya tenggelam dalam rasa malu yang amat mendalam. Begitu sabarnya tutor menghadapi tingkah berbagai siswanya (member). Jadi guru itu nggak gampang, tidak cukup sekadar pintar dan memiliki kemampuan yang baik dalam menyampaikan dan menjelaskan pelajaran, tetapi juga harus memiliki akhlak yang baik pula.
Pare ‘Kampung Inggris’, bukan sekadar tempat les bahasa Inggris. Layaknya, BAKTI NUSA yang dapat menjadi tempat pendewasaan diri. Awalnya saya merasa biaya untuk les IELTS mahal (berhubung saya tidak meminta uang dari orang tua dan belum berpenghasilan tetap), tetapi pada akhirnya saya merasa biaya tersebut sangatlah murah. Saya memperoleh lingkungan belajar yang sangat mendukung perkembangan saya mulai dari tutor yang sabar dan kompeten, teman-teman yang lebih rajin dan lebih visioner serta suasana asri. Saya bukan hanya belajar untuk mendapat skor IELTS yang bagus, tetapi juga belajar terkait persiapan studi lanjut dari teman-teman di asrama. Lingkungan yang baik, itu susah dicari dan tidak serta merta diperoleh dengan uang berlimpah. Semoga kita senantiasa dimudahkan untuk berada dalam lingkungan yang mendorong untuk terus menjadi baik.