Kita mengenal budaya sebagai tradisi dari sebuah sekumpulan masyarakat. Hebatnya, budaya bukan hanya sekadar kebiasaan. Lebih dari itu, budaya bisa berpengaruh terhadap banyak aspek kehidupan yang salah satunya adalah pendidikan.
Sejatinya, orang yang berbudaya adalah orang yang berpendidikan karena ia menanamkan value atau nilai nilai baik di dalamnya. Unsur budaya dalam pendidikan, khususnya pengajaran sebenarnya telah lama diterapkan oleh nenek moyang kita. Contohnya, dalam alat bantu belajar seperti biji congklak untuk mengajarkan berhitung juga wayang kulit untuk mengajarkan ilmu agama.
Ada satu praktik nyata tentang penggabungan budaya dan pendidikan. Di timur indonesia, yang fasilitas pendidikannya belum merata dan tidak sebaik di barat indonesia, ada seorang guru bahasa inggris bernama Maria Regina Inja yang mengajarkan bahasa inggris lewat permainan tradisional yaitu sikidoka atau engklek. Beliau berpendapat, pendidikan tidak melulu duduk di kelas dan guru menuliskan materi di papan tulis. Dengan begitu, semua anak mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan pembelajaran.
Berawal dari minatnya kepada bahasa inggris dan mengajar anak-anak, Maria Regina Inja atau biasa dipanggil Kak Inja memiliki tekad untuk mengajarkan bahasa inggris pada anak-anak yang putus sekolah dan dimulai dari daerah asalnya yaitu pelosok NTT. Agar pembelajaran terasa menyenangkan, kartu kosakata bahasa inggris diletakkan di setiap gambar kotak permainan englek. Kemudian, ketika anak yang bermain menginjak gambar kotak tertentu, anak tersebut harus menerjemahkan kata dalam bahasa indonesia yang ada di kartu kosakata ke bahasa inggris ataupun sebaliknya. Dengan demikian, anak bisa belajar kosakata baru dalam bahasa inggris dengan lebih menarik.
Jadi, budaya dan pendidikan nyatanya bisa saling berkolerasi satu sama lain. Asalkan, kita mau berkreatifitas tanpa batas dan bersabar dalam berprogres di setiap prosesnya.