Belajar dari Mas Fathur: Memaksimalkan Lingkaran Ilmu
Baru-baru ini, teman sejawat, teman seangkatan Penerima BAKTI NUSA saya M. Atiatul Muqtadir sedang berada dalam puncak ketenarannya. Saya bukannya mengambil momentum atau mengklaim sebagai temannya, basisnya adalah kedokteran gigi dan sedangkan saya kedokteran biasa. Saya memang seangkatan Penerima Bakti Nusa 8, namun saya juga belum pernah bercakap-cakap dengannya. Saya hanya menjadikan dirinya sebagai contoh, bahwa ia merupakan salah satu tokoh yang hidupnya hampa jika tidak diisi dengan kebaikan-kebaikan. Saya menduga, ia malah senang apabila waktunya ia habiskan untuk belajar, memberi ilmu kepada orang lain, dan menolong orang lain.
Diksi di atas memang terkesan lebih “untuk orang lain”, padahal efek dari kebaikan tersebut akan kembali ke dirinya sendiri. Let’s say, Mas Fathur -nama panggilan seorang tokoh yang sedang saya bahas ini- tidak memiliki waktu luang untuk nongkrong-nongkrong dan istirahat, jadwalnya padat untuk mengisi acara A dan acara B, tetapi apakah berarti ia dirugikan? Sekilas, ia seperti dirugikan, tapi sebenarnya sebelum mengisi acara-acara tersebut ia akan menggali dan memvalidasi apa yang akan ia sampaikan sebelum tersebar di telinga orang lain. Jadi, hal yang kesannya untuk orang lain, sebenarnya untuk dirinya sendiri.
Seseorang yang mengagumi Mas Fathur tidak perlu pusing memikirkan bagaimana menjadi seperti beliau, kita hanya perlu memaksimalkan tanggung jawab alias amanah yang dimiliki. Tidak usah jauh-jauh menjadi ketua atau menteri dan sebuah organisasi, memaksimalkan peran menjadi mentor suatu lingkaran yang menutut ilmu akhirat atau peran sebagai anggota suatu perkumpulanpun sebenarnya termasuk ajang “latihan” untuk menjemput momentum seperti yang dilakukan Mas Fathur.
Mengutip dari buku Nota Kontan untuk Tuhan bahwa, “Momentum adalah situasi dimana kesempatan bertemu dengan kemampuan.” Saya yakin, mas fathur sudah menyiapkan berbagai kemampuan sampai ia berjumpa dengan kesempatan, seperti yang ia lakukan akhir-akhir ini.
Memang melelahkan jika memiliki tanggungjawab untuk mengumpulkan adik-adik sepekan sekali untuk mengisi mentoring. Padahal si mentor tidak akan mendapatkan sebuah kebanggaan lebih-karena audiensnya kurang dari sepuluh orang, si mentor juga tidak akan mendapatkan upah maupun snack-malahan si mentor yang harus memberikan wejangan-berupa makanan- kepada adik-adik mentornya. Tetapi tanggungjawab dan amanah apapun dapat menjadi ladang upgrading skills. Anggapan suatu amanah menjadi tempat menghabiskan energi, waktu, dan harta adalah anggapan yang kurang tepat karena apa yang dihabiskan pasti akan kembali ke diri sendiri.
Bayangkan jika tiap pekan, seorang mentor rutin mengisi lingkaran ilmunya, maka satu tahun saja sudah ada 48 kali ia latihan.. anggap saja latihan public speaking. Walaupun belum lulus dari bangku pendidikan, ia sudah menyicil untuk memiliki public speaking skills. Salah satu soft skills yang sangat membantu dalam karier dan kesuksesan seseorang.
Berada dalam lingkaran ilmu adalah contoh tanggung jawab yang sangat sederhana dan dapat dimaksimalkan seseorang pelajar maupun mahasiswa. Saya yakin setiap pelajar dan mahasiswa pasti memiliki suatu lingkaran atau perkumpulan dalam menuntut ilmu agama. Jika belum ada atau belum menemukan yang pas, teruslah mencari karena ilmu agama adalah ibu dari segala ilmu sebelum menuntut ilmu lainnya.