Belajar dari Kaisar Tiongkok Terakhir, oleh Rizki Hafidz Muntaz.
Foto: Pu Yi, Kaisar Terakhir Tiongkok
Seminggu yang lalu, saya telah menamatkan buku The Last Emperor yang merupakan buku autobiografi dari kaisar terakhir tiongkok, Henry Pu Yi. Sejujurnya buku ini sangat berbeda dari kebanyakan tema bauku yang biasa saya baca berupa ekonomi, islam, ilmu sosial, pertanian dan sebagainya, namun buku ini menjadi menarik dikarenakan pengamatan saya terhadap negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sangat berpengaruh saat ini, terutama dengan program OBOR yang juga mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi di Indonesia. Oleh karena itu, saya pikir buku ini akan menambah wawasan saya mengenai kenegaraan RRT pada awal terbentuknya.
Autobiografi ini bercerita mulai kelahiran Pu Yi, lalu dinobatkan sebagai Kaisar, hingga puncak kemalangan kehidupan beliau, yaitu ditahan karena dianggap sebagai salah satu penjahat perang, hingga ia dibebaskan dan hidup dalam keseharian. Namun yang hal yang menarik ialah, di masa Pu Yi lah, Kekaisaran Tiongkok berakhir.
Lalu, mengapa Kekaisaran Tiongkok bisa berakhir kekuasaannya?
Pu Yi berasal dari klan Aisin Gioro suku Manchu. Ia diangkat menjadi Kaisar sejak umur 2 tahun karena ditunjuk Janda Permaisuri Cixi. Sejak kecil ia diperlakukan layaknya seorang anak kecil dan kaisar yang dimanja dengan berbagai fasilitas mewah. Namun hal inilah yang menjadi akibat pelemahan dalam kepribadian Pu Yi, yaitu kondisi mewah, bahkan terbiasa membuat marah kepada pembantu istana karena kesalahan-kesalahan kecil, membuat dirinya menjadi seorang pemarah.
Karena pengasuhan layaknya seorang Dewa inilah yang menjadikan Pu Yi tidak memiliki suasana kondusif dalam pendidikannya di masa kecil. Kurangnya kekondusifan masa kecil, berdampak pada kepemimpinan Pu Yi di masa mendatang. Puncaknya ialah ketika pembentukan negara boneka Manchuria yang dimana jepang mengangkat Pu Yi sebagai penguasanya, hal ini sebenarnya ialah kondisi yang diinginkan oleh Pu Yi, dimana Pu Yi ingin adanya restorasi agar dirinya kembali diangkat menjadi Kaisar. Namun pada nyatanya pengangkatan Pu Yi ialah akal-akalan Jepang semata, untuk mencari dukungan dari Rakyat Tiongkok yang pro terhadap kaisar, dan tentu jepang lebih berkuasa atas Pu Yi dalam kebijaknnya.
Kondisi manajemen kerajaan yang buruk, korup serta budaya konservatif yang tinggi, menjadikan Kekaisaran Tiongkok di masa Dinasti Qing semakin menurun. Kekalahan perang berkali-kali terhadap jepang serta munculnya negara republik revolusioner semakin melemahkan kekuatan negara. Ketika Pu Yi menjadi kaisar, dan bertempat di Istana Kota Terlarang, ia pun juga menyadari, bahwa banyak sekali kekayaan Kerajaan yang hilang terjual begitu saja oleh pejabat-pejabat korup.
Kekacauan Tiongkok tak hanya berhenti sampai disana, namun paling tidak. Dua hal ini lah yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Tiongkok, pertama ialah krisis kepemimpinan, Pu Yi tak bisa bertahan terhadap gempuran politik, sehingga keputusan-keputusan yang muncul cenderung pragmatis dan merugikan rakyat, sementara pejabat-pejabat tiongkok yang krisis moralnya, konservatif dan korup menjadikan keruntuhan itu semakin cepat terjadi.