Pengetahuan Geospasial dan Lingkungan Bukan Lagi Pilihan
Malang – Kompleksitas tantangan lingkungan di dunia terus meningkat seperti perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, alih fungsi lahan, dan isu sosial lingkungan. Sebab itulah pengetahuan lingkungan dan teknologi geospasial menjadi penting sebagai solusi dari permasalahan tersebut sebagai pondasi dalam memahami, merespons, dan merancang solusi yang berkelanjutan.
Menurut Azra Syaura Azzafira, awardee Beasiswa Aktivis Nusantara (BAKTI NUSA), pengetahuan geospasial lingkungan merupakan integrasi antara aktivitas geospasial yang meliputi pengumpulan, analisis, dan visualisasi data berbasis lokasi dengan aspek lingkungan. Ia mengatakan pengetahuan lingkungan dan teknologi geospasial mampu menjawab tantangan lingkungan di abad 21.
“Beberapa jenis penerapan teknologi geospasial adalah Sistem Informasi Geografis (SIG), penginderaan jauh (remote sensing), dan global positioning system (GPS) telah membuka era baru dalam pengelolaan sumber daya alam dan mitigasi risiko bencana. Misalnya, SIG memungkinkan kita untuk memetakan daerah rawan longsor, banjir, atau kekeringan, sehingga kebijakan pembangunan dapat dirancang secara lebih tepat sasaran dan berbasis data,” terang Azra.
“Dalam konteks perubahan iklim, teknologi ini memainkan peran vital dalam memodelkan dampak suhu global terhadap wilayah pesisir, distribusi vegetasi, dan sumber daya air. Di Indonesia, penggunaan teknologi geospasial telah diaplikasikan dalam program One Map Policy (Kebijakan Satu Peta) untuk mengatasi tumpang tindih tata ruang dan konflik lahan. Namun, efektivitas program ini tetap bergantung pada pemahaman lintas sektor terhadap aspek sosial, budaya, dan lingkungan dari data spasial itu sendiri” tambahnya.
Lebih lanjut Azra menerangkan bahwa perlu adanya urgensi pendidikan sekaligus kolaborasi antar disiplin sebagai gerbang memaksimalkan Transformative EduAction. “Pengetahuan menjadi penting agar sejalan dengan Transformative EduAction di mana nantinya pelajar memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan. Karena itu perlu adanya transformasi kurikulum pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi melalui Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) yang mengintegrasikan data spasial dan isu lingkungan lokal dapat mendorong siswa menjadi agen perubahan di komunitasnya,” papar Azra.
“Selain itu, kolaborasi antar ilmuwan geospasial, ahli lingkungan, pembuat kebijakan, dan masyarakat sipil diperlukan untuk membangun solusi yang inklusif dan berbasis data,” tegasnya.
Azra berharap krisis lingkungan global dan percepatan perubahan sosial-ekonomi yang terjadi saat ini menjadikan pengetahuan geospasial dan lingkungan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan penting. Keduanya tidak hanya memberikan pemahaman tentang kondisi bumi, tetapi juga alat untuk menjaga kelestarian kehidupan di dalamnya. Integrasi antara sains spasial dan ekologi membuka peluang baru dalam membangun masa depan yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan sesuai konsep tiga pilar pembangunan berkelanjutan.