“Jangan mengejar cita-cita untuk memperoleh harta yang banyak. Tujuannya sebaik-baiknya untuk masyarakat banyak”
- Mohammad Hatta
Penggalan kalimat di atas adalah bentuk kerelaan pemimpin bangsa Indonesia untuk kebermanfaatan seluas-luasnya bagi masyarakat. Benar, manfaatnya kita rasakan, hingga hari ini. Kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, sehingga benar apa yang dikatakan Agus Salim, pemimpin berarti menderita (leiden is leijden). Menderita bukan saja sebatas makna jasad, tetapi mengandung arti kesiapan diri dan kompetensi dalam mengelolanya.
Di tengah kepemimpinan Umar bin Khattab, banyak kemajuan dan ekspansi dakwah Islam hingga luar Makkah dan Madinah. Pada saat pembebasan Baitul Maqdis, Umar melakukan perjalanan panjang menuju Baitul Maqdis menggunakan untanya, bersama seorang budak. Kata budak tersebut, Wahai Amirul Mukminin jangan anda turun dari Unta dan saya tidak akan naik. Umar menjawab, maka aku mendzalimi engkau. Seketika itu, dibagi menjadi bergiliran untuk menaiki unta. Sungguh, pemimpin yang baik selalu membuka diri bagi siapapun, menrima masukan, memberi arahan, dan sederhana. Pembelajaran lain adalah seketika tiba di Baitul Maqdis, pada saat mengunjungi Gereja, Umar menanyakan Dimana tempat shalat. Sofronius menjawab, shalatlah di gereja ku. Namun, Umar menolak dengan berkata, nanti kaum muslimin setelahku akan meniruku.
Dari sini dapat dimaknai bahwa selayaknya kepemimpinan Umar, keberanian terhadap lawan bahkan sebesar romawi, diiringi dengan keselarasan pikiran, perkataan dan perbuatan serta sikap yang membuka diri terhadap siapapun menghasilkan teladan baik bagi para rakyatnya bahkan dampak kebermanfaatan yang begitu luas, hingga hari ini.
Sustainable leadership bukan sekadar tren atau respon terhadap gejolak eksternal, tetapi merupakan pendekatan jangka panjang yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang menerapkan prinsip ini tidak hanya bertanggung jawab pada profitabilitas organisasi, tetapi juga pada dampaknya terhadap masyarakat. Mereka memahami bahwa keberhasilan jangka panjang tidak dapat dicapai tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan kesehatan ekologis.
Dalam konteks ini, sustainable leadership menuntut pemimpin untuk berpikir holistik, memprioritaskan inklusivitas, serta mendukung inovasi dan menciptakan nilai untuk dapak yang berkelanjutan, adaptif dan resilien terhadap dinamika global yang terus berubah. Maka dari itu, penerapan sustainable leadership adalah langkah progresif bagi setiap insan di zaman pasca kebenaran. Tidak hanya untuk meningkatkan citra diri dan unjuk kemampuan, tetapi juga untuk memberikan kontribusi nyata bagi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.