Quarter Life Crisis, Aku Harus Bagaimana?

(Oleh : Dinni Ramayani – PM BAKTI NUSA 9 Padang)

“Keberhasilan orang lain bukanlah kegagalan bagimu.”

Kutipan tersebut merupakan salah satu tulisan yang saya baca di blog Mr.Budi Waluyo. Barangkali, secara tidak sadar kita sering merasa gagal ketika melihat teman kita berhasil meraih sesuatu. Kita mulai mengkhawatirkan diri kita sendiri yang berdampak pada menurunnya rasa percaya diri. Don’t you?

 

Kemudian, tentang masa depan, kamu yang sedang membaca tulisan ini, “pernah merasa khawatir tentang masa depan, enggak?”

Berbicara tentang ini, saya  terinspirasi dari buku Teh Novie Ocktaviane Mufti yang berjudul Healing Yourself, buku yang pas sekali untuk yang tengah berada di masa Quarter Life Crisis (QLC) atau krisis seperempat abad. Pada zona ini kita rentan terkena virus “membanding-bandingkan dan penuh kekhawatiran”. Teh Novie dalam bukunya menceritakan bahwa semua orang tentunya sama-sama memiliki kekhawatiran pribadi tentang diri, kehidupan, dan masa depan. Pada usia 20-an, orang bilang kekhawatiran itu bertambah-tambah, bahkan mencapai puncaknya. Yap, itulah yang disebut masa QLC.

 

Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Karena, kata Teh Novie dalam bukunya, di usia-usia inilah individu berhadapan dengan keputusan-keputusan yang boleh jadi berdampak permanen untuk kehidupannya, seperti memilih pekerjaan, pasangan hidup, merencanakan masa depan, melanjutkan studi, dan pilihan-pilihan besar lainnya. Awalnya mungkin terasa biasa saja melalui fase ini, namun sedikit-sedikit kebanyakan orang akan bertanya-tanya, “Kok dia cepat banget lulus kuliah? Kok dia cepet banget dapat pekerjaan? Kok dia ga pernah galau masalah jodoh? Kok dia bisa banget nikah muda?” dan pertanyaan lainnya. Disadari atau tidak, pertanyaan itulah yang yang membuat Quarter Life Crisis ini semakin besar , besar, besar dan menjadi monster dalam keseharian kita. Kita merasa tertinggal akan keberhasilan orang lain.

Lantas, sebagai seorang muslim, bagaimana kita menghadapi Quarter Life Crisis ini?

Pola pikir seorang muslim dan muslimah itu seharusnya tidak sama dengan orang kebanyakan, tidak akan galau. Kenapa ? Tauhid. Tauhid/Keimanan mengajarkan keyakinan dan kebergantungan kepada Allah. Bukan berarti khawatir itu tidak ada, tapi iman membuat kita tahu ke mana kita bisa bergantung dan mengembalikan segala urusan. Jadi, QLC ini bisa terkelola dengan baik dengan iman dan berbaik sangka pada Allah. Nah, sekarang kalau kita galau, coba cek lagi jiwa kita, terpaut ga sama Allah? Cek juga amalan shalih kita, berantakan ga tuh?

 

Sebenarnya kita menyadari bahwa khawatir itu melelahkan. Sayangnya, kita sering mengkhawatirkan apa-apa yang sudah Allah tetapkan. Padahal, akan seperti apa pencapaian mimpi-mimpi kita, bagaimana kisah hidup kita, dengan siapa kita menikah, dan bagaimana aktualisasi diri kita sudah Allah atur sedemikian rupa. Teh Novie dalam bukunya ini juga melempar sebuah pertanyaan yang patut jadi renungan, “Apa mungkin ketika kita mengambil sikap untuk khawatir berarti kita tanpa sadar sedang ragu bahwa Allah adalah yang maha mengatur dan menjamin dengan baik segalanya?” *Astaghfirullah :”

 

Dear… Selalu ingat bahwa kita punya garis start masing-masing, kita punya lintasan masing-masing, punya finish masing-masing, dan yang perlu disadari adalah kita punya waktu masing-masing. Dan semua itu telah Allah desain, dan Allah tahu kapan waktunya semua ingin kita akan tertunaikan. Bukankah semua telah Allah kendalikan? Masa lalu, masa sekarang dan masa depan tak pernah luput dari pengawasan Allah Swt.

 

Lalu, maukah mulai hari ini kita tak lagi khawatir atas apa-apa yang sudah Allah jamin? Maukah mulai hari ini kita tepis segera kekhawatiran itu dengan keimanan pada-Nya?