Badan Eksekutif Mahasiswa, Bukan Eksklusif Mahasiswa

BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA, BUKAN EKSKLUSIF MAHASISWA

(Bagian 2 : Nilai Demokrasi Dikebiri Atas Dasar Takut Perpecahan)

 

Oleh : Khabib Anwari

Penerima Manfaat Bakti Nusa 9 Regional Yogyakarta

 

KPU selaku panitia yang menjunjung netralitas dalam penyelenggaraan pemilihan ketua lembaga eksekutif fakultas dan jurusan mengeluarkan keputusan yang kontroversial. KPU memutuskan mendiskualifikasi salah satu pasangan calon ketua BEM karena mengumpulkan berkas persyaratan melewati batas waktu yang sudah ditentukan. Keputusan KPU Fakultas tersebut membuat peta pertarungan bakal calon ketua dan wakil ketua BEM Fakultas tersebut tidak seimbang, artinya hanya ada satu pasangan calon yang dipastikan maju ke babak selanjutnya. Itu artinya adalah aklamasi.

Keputusan KPU Fakultas tersebut membuat berbagai pihak bereaksi, ada yang mengapresiasi dan bahkan menolak secara keras keputusan tersebut. Berbagai jalur mediasi sudah dilakukan termasuk membawa perkara ini ke BANWAS Fakultas oleh pihak yang tidak terima dengan keputusan tersebut. BANWAS pun mengembalikan keputusan kepada KPU karena menurut BANWAS surat keputusan yang dibuat oleh KPU tidak menyalahi Undang – Undang PEMILWA yang sudah disahkan dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan PEMILWA.

Banyak spekulasi yang berkembang di kalangan aktivis fakultas, lambat laun surat keputusan KPU tersebut menyebabkan polarisasi di mahasiswa fakultas. Akan tetapi KPU tetap melanjutkan keputusannya. Di sisi lain banyak senior yang keberatan dan melaporkan keputusan KPU kepada wakil dekan 3 bagian kemahasiswaan. Mereka berdalih bahwa keputusan KPU tersebut dapat menciderai implementasi demokrasi di fakultas tersebut karena mahasiswa tidak dihadapkan oleh dua pilihan, melainkan satu dan itu sudah dipastikan jadi ketua dan wakil BEM.

Hampir senada dengan mereka, wakil dekan 3 pun seakan – akan mengamini pendapat para senior yang kontra. Akhirnya diadakanlah sebuah forum pertemuan antara KPU, BANWAS, dan para ketua organisasi mahasiswa di fakultas tersebut bersama dengan wakil dekan 3. Berdebatan hebat tidak bisa dihindarkan. Antara kontra dan pro sama – sama menyampaikan argument terkuat mereka. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, tim kontra mengerucut sehingga nampak dengan jelas siapa yang sebenarnya kontra. Akhirnya keputusan forum tersebut adalah tetap melanjutkan peraturan yang sudah ada.

Di sisi lain BEM yang masih menjabat pada masa itu tiba – tiba mengeluarkan angket tentang keberatan atau tidak jika PEMILWA khususnya untuk ketua dan wakil ketua BEM dilakukan secara aklamasi. Himbauan tersebut disebar luaskan kepada mahasiswa di fakultas tersebut. Dalam angket yang ada, jelas – jelas bahwa BEM mencoba menghimpun suara keberatan mahasiswa atas keputusan KPU. Padahal jika ditelurus lebih mendalam dan jeli, sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku dalam fakultas tersebut yang berhak melakukan intervensi dalam sebuah perkara demokrasi adalah DPM atau Dewan Perwakilan Mahasiswa. Sedangkan jika mengacu pada sistem republic, seorang presiden (eksekutif) tidak bisa mencampuri maupun mengintervensi proses demokrasi sebuah negara selain lembaga legislative,yaitu DPR.

Di sisi lain, wakil dekan 3 saat bertemu dengan paslon yang dinyatakan lolos oleh KPU meminta untuk mengundurkan diri. Karena menurut beliau jika paslon yang lolos tersebut mengundurkan diri, maka KPU akan membuka pendaftaran ulang untuk calon ketua dan wakil ketua BEM. Beliau juga menyampaikan bahwa demokrasi di fakultas harus berjalan agar mahasiswa bisa belajar berdemokrasi. Jika hanya ada satu paslon, maka mahasiswa tidak bisa memilih. KPU semakin terintimidasi oleh pihak – pihak yang tidak sepakat dengan rencana aklamasi. Dari pihak paslon tunggal pun masih menahan diri dengan dalih menghormati keputusan KPU dan menjunjung tinggi demokrasi di fakultas.

Dari kasus tersebut, dapat diketahui bahwa fanatisme mahasiswa terhadap sesuatu sangat berlebihan. Ketika salah satu pihak dianggap berafiliasi dengan organisasi ekstra, maka pihak yang kontrapun akan melakukan berbagai cara agar paslon tersebut tidak menang. Bahkan tidak sedikit pula menyebarkan isu bahwa jika golongan kanan yang memimpin maka kegiatan – kegiatan akan dimonopoli agar menguntungkan salah satu pihak. Sayangnya, tidak sedikit pula mahasiswa yang termakan isu yang sengaja dikembangkan oleh pihak kontra.

Hal tersebut membuktikan bahwa masih banyak mahasiswa yang apatis terhadap kehidupan berorganisasi dan semangat menuntut ilmu di luar kampus. Mereka hanya melihat sekelumit barang tanpa melihat sampai ke dalam dan membandingkan dengan barang lainnya. Sehingga tidak ada paradigm yang terbentuk di benak mahasiswa dalam menilai sebuah persoalan. Mereka memutuskan dan mengambil sikap hanya dari cerita dan omongan orang luar. Tidak berusaha mencari tahu kebenaran yang ada.

Selain itu, dari kasus tersebut kita juga dapat mengetahui bahwa ternyata organisasi mahasiswa saat ini masih dihadapkan dengan persoalan klasik, yaitu tidak sedikit para ketua organisasi yang mengalami post power syndrome. Dikutip dari DetikHealt.com oleh Muhamad Reza Sulaiman dengan judul “Catat! Ini Gejala Seorang Mengalami Post Power Syndrome”, disebutkan bahwa post power syndrome adalah bentuk gangguan jiwa atau masalah kejiwaan yang menimpa seseorang akibat kehilangan kekuasaan atau jabatan diikuti dengan harga diri yang menurun. Akibatnya ia bisa merasa tidak lagi dihormati dan lebih mudah tersinggung dan curiga.

 

… bersambung …

(Bagian 3 : Banyak Aktivis Mengalami Post Power Syndrome Pask Kampus)