Hayo Jangan Merasa Paling Benar

Akhir Juli 2019 lalu, akun instagram @dasadlatif1212 milik Dasad Latif, seorang ustaz sekaligus dosen komunikasi Universitas Hasanudin, menjadi viral. Dalam akun instagramnya, Dasad Latif mengunggah video penutupan sebuah restoran yang mengolah daging babi di salah satu mall di Makasar. Alasan penutupannya adalah restoran ini dianggap tidak menjadi kelaziman bagi masyarakat bugis Makassar dengan menjual daging babi secara terang – terangan di public space. Dalam akhir videonya, Dasad Latif menyebutkan rasa syukur kepada Allah SWT karena “masih bisa saling menjaga” yang dapat diambil kesimpulan bahwa ada motif agama di balik penutupan restoran ini.

Menanggapi kasus seperti ini, saya memiliki beberapa pemikiran. Pertama, dalam islam daging babi memang haram. Oleh karena itu, kita sebagai penganut agama Islam tidak boleh dan tidak usah makan daging babi apalagi masuk ke restoran yang menjual daging babi. Titik. End of the problems. Kalau ada umat agama lain yang menjual dan memakan daging babi ya bukan menjadi masalah, toh tidak ada larangan dalam agama mereka. Apakah dengan mereka makan dan menjual daging babi secara terang – terangan lantas serta merta membuat kadar keimanan kita menurun atau membuat kita berdosa? Lagipula, perbandingan restoran yang menjual daging babi dengan yang tidak sangat kecil di Indonesia yang mayoritas Islam. Jadi ya sudahlah, bagi mereka tidak dilarang, jangan kita sampai menutup mata pencaharian orang lain karena preferensi yang berbeda dari agama yang kita anut. Toh, dalam hukum di Indonesia tidak dilarang.

Kedua, orang – orang setidaknya perlu sesekali menjadi minoritas agar tidak semena – mena ketika menjadi mayoritas. Di Indonesia dengan mayoritas beragama muslim membuat kita kadang – kadang tidak sadar memaksa orang lain untuk menganut apa yang menjadi aturan kita dengan dalih “menjaga masyarakat”. Banyaknya pasukan yang akan mendukung dan mengiyakan menjadi bekal untuk kita melanggengkan pendapat kita. Apa jadinya kalau kita berada di tempat dimana kita menjadi minoritas, dimana kebanyakan orang – orang tidak sepemikiran dengan kita. Jangankan memaksakan ideologi kita, menjelaskan mengapa kita mesti begini dan begitu bukanlah hal yang mudah. Orang – orang perlu ke luar negeri, bukan untuk sekadar vakansi, melainkan untuk melihat bahwa di belahan bumi yang lain ada dunia dan sistem sosial yang amat berbeda dengan apa yang kita lihat dan percayai setiap hari. Ada masyarakat yang hidup dan tumbuh dengan adat, kebiasaan dan kepercayaan yang tidak familiar bagi kita, namun mereka dapat melangsungkan kehidupan selayaknya manusia. Dari sana kita dapat melihat bahwa sesungguhnya kita merupakan bagian kecil dari umat manusia, apa yang kita percayai belum tentu orang lain mengerti dan sebaliknya, dan sesungguhnya itu bukanlah masalah selagi kita saling menghargai batasan masing – masing.

Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Sudah tertulis jelas dan seringkali kita dengung – dengungkan, namun sepertinya hendaknya kita renungkan kembali, apakah kita sudah benar – benar mengamalkan ayat tersebut. Mengapa cara kita beragama seringkali menyusahkan penganut agama lain? Mengapa kita selalu menuntut dihargai tapi tidak pernah menghargai penganut agama lainnya? Jika cara beragama kita sering merepotkan bagi pemeluk agama lain, maka perlu kita pertanyakan kembali, apakah cara beragama kita sudah benar atau hanya merasa yang paling benar?